Site icon SuaraJakarta.co

‘#Mintadigampar’ Mungkin Harus Digampar

SuaraJakarta.co – Belakangan ini muncul sebuah tagar di You Tube dengan caption #mintadigampar. Tagar ini memuat video liputan (yang katanya) hasil social experiment sekelompok anak muda tentang perbuatan yang dianggap menyalahi aturan. Dengan kanal bernama Kamtung Tv, mereka menampilkan laku pelanggar aturan melalui ‘interaksi’ langsung dengan si pelanggar. Rata-rata, viewernya mencapai ratusan ribu. Dalam berbagai video yang diunggah, tak kurang Kukuh (aktor sentral dalam video) bertanya, berkomentar bahkan memaki setiap pelanggar aturan.

Semisal, sekelompok mahasiswa yang sedang nongkrong ‘tidak jelas’ (kata Kukuh) di taman, dua wanita yang sedang asyik berfoto selfie dengan tongsis, penumpang kereta yang duduk di bangku prioritas yang bukan haknya, bahkan seorang pendeta ‘demagog’ yang sedang berjualan buku reliji pun tak luput dari komentar Kukuh. Pun, tak lupa para pelanggar lalu lintas yang merupakan makanan sehari-hari dijadikan sasaran.

Tulisan ini adalah refleksi penulis setelah menonton acara ‘social experiment’ tersebut. Bagi penulis, ada beberapa hal yang mesti disampaikan menyangkut tagar yang ramai pengunjung ini.
Salah Dari Awal

Sedari awal penulis menonton berbagai videonya, yang ada di kepala penulis adalah pertanyaan sederhana. Apa tujuan dasar yang ada di balik pembuatan ‘social experiment’ ini? Pasalnya, prolog yang disampaikan Kukuh di awal-awal video hanyalah ingin mengetahui reaksi pelanggar aturan ketika diajak ngobrol dengannya. Apakah si pelanggar akan ‘menggampar’ si Kukuh atau tidak. Hanya itu. Selebihnya, konten video berisi pertanyaan bertubi-tubi dan komentar tak tentu arah dari Kukuh kepada para pelaku.

Kesan yang hadir justru kru Kamtung Tv seperti sekedar membuat gaduh dan ketenaran sebagaimana kini sangat mudah bagi seseorang hanya dengan berkicau, membuat video, atau membuat caption ‘cetar membahana’ di media sosial. Kalau bertujuan melakukan edukasi kepada masyarakat, tentu keliru. Tidak bisa tidak sebuah social experiment mesti didasarkan pada skema teoritik yang jelas. Ketidakcermatan dalam menerjemahkan realitas sosial secara mendalam membuat konten videonya hanya membahas persoalan secara sepotong-sepotong.

Kasus yang dimunculkan hanya segelintir dari kelanjutan mata rantai seluk-beluk kenyataan sosial. Padahal, substansi realitas yang terjadi jauh lebih kompleks dan rumit dari pada itu. Tidak hanya soal pengguna lalu lintas yang melanggar zebra cross atau melawan arus, juga segerombol mahasiswa yang ‘kongkow’ tidak jelas, tapi bagaimana keseluruhan ‘bangunan penyangga’ yang membentuk dan mengondisikan tampilan kejadian di muka.

Kebanyakan kaula muda negeri kita terjebak pada kemasabodohan akan dalam dan kusutnya realitas di sekitar. Kemasabodohan ini yang berdampak pada kemalasan menghayati dan memahami konsep-konsep dan seperangkat teori sehingga membuat mereka ngalor-ngidul tak jelas. Ketakjelasan ini terlihat dari sikap Kukuh dan Co. tampak serampangan secara tak sadar dalam melakukan eksperimennya. Tidak lupa, tentunya, keterjebakan ini berpangkal pada peranan sistem dan sub-sistem yang terus-menerus memproduksi dan mereproduksi wacana yang sekadar normatif dan artikulatif sehingga menenggelamkan substansi ke dasar alam bawah sadar manusia.

Bahwa kenyataan sosial mengalami dinamisasi seringkali mengabaikan kesadaran individunya. Apa yang tampil di permukaan hanyalah seonggok pantulan dari asas-asas fundamen yang memposisikannya. Dan apa yang terjadi, seperti contoh-contoh dalam video, bukan jantung persoalannya, melainkan hanya penggalan episode dari keseluruhan alur cerita kehidupan.

Untuk melakukan perubahan? Tentu tidak tepat. Perubahan harus dilakukan pada ranah teori dan praksis. Tak akan berguna teori tanpa praksis, karena hanya akan membuat onani intelektual. Pun, praksis tanpa diimbangi kemampuan berteori secara sistematik niscaya berujung pada pragmatisme belaka. Yang terakhir ini sangat berbahaya karena banyak kita jumpai pada prilaku kelas menengah kita yang katanya ‘ngehek’‒yang suka teriak perubahan tapi melihat demonstrasi menggerutu kasar, suka bicara pentingnya gotong-royong dan kebersamaan, tetapi pada praktiknya individualistik. Dengan tingkat kelas menengah yang lebih dari 50% di tanah air (menurut riset Asian Development Bank tahun 2010), maka kelakuan ngehek ini semakin membuat kondisi bangsa kita tak karuan. Pun, cita-cita perubahan bangsa menjumpai batu kerikil semacam Kukuh cs ini.

Maka dari itu, serangkaian prilaku macam begini harus segera dihentikan. Sebab, ketololan bertentangga dekat dengan penindasan. Dan penindasan beralamat di paviliun kesengsaraan. Ini adalah lingkaran setan yang dihuni oleh setan-setan. Orang bijak bilang, setan dapat dikalahkan dengan air. Maka, lekas ambil air (kalau perlu pakai doa) dan siramkan pada orang-orang seperti Kukuh cs agar tak terus tidur dan dikerjai mimpi buruk oleh setan. ‘Byarrrrr!’

Penulis: Ryan Hidayat dan Khalid Syaifullah, Anggota Studi LiNTAS (Lingkar Studi Tangserang Selatan)

Exit mobile version