Site icon SuaraJakarta.co

Merdeka Tapi Terjajah

Buruh wanita membawa bola dan sepatu raksasa bermerek pada peringatan May Day di Jakarta (1/5). (Foto: Fajrul Islam)

“Bangsa ini sudah berubah semangat merdekanya” _hy.azn

SuaraJakarta.co – 1945 menjadi puncak dari semangat kemerdekaan bangsa yang begitu mengalir di rasakan oleh para pejuang kemerdekaan. Buah hasil dari perjalanan panjang dimana tak murah ganti ruginya, darah, harta, nyawa rakyat jelata tak lepas dari sebuah pengorbanan untuk meraih kemerdekaan. Perjalanan panjang melawan penjajah negeri mulai dari Belanda hingga Hiroshima.

Sebelum 1945 rakyat dan para pejuang sangat ambisius memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan yang tidak sebentar. Semua suku dan agama bersatu asalkan indonesia merdeka, namun kini semua bagai tinggal sejarah. Suku, agama, golongan, bahkan dukungan kepada salah satu calon pejabat pun menjadi awal perpecahan, bahkan beda pendapat menjadi awal percek-cokan.

Saat ini, penjajah negeri ini tak lain adalah para penghuni bangsa, dari sabang hingga merauke, para penjajah pribumi sangat mudah di temukan, namun semua bagai menggunakan topeng, sehingga terkadang tak terlihat padahal mereka berserakan. Mereka yang mengatasnamakan rakyat namun punya tujuan memenuhi kepentingan pribadi. Entahlah negeriku. Memang beginilah adanya kamu saat ini.

Kebodohan, selalu menjadi awal penjajahan. Negeri ini bukan memiliki rakyat yang tidak berpendidikan bahkan para insinyur, doktor, profesor telah lahir di bumi tercinta yang memiliki berjuta kekayaan, para intelegensia sudah bejibun di negara ini, namun penjajahan tetap di alami bangsa ini, kebodohan yang di buat-buat, tahu kebenaran namun tak ingin mengungkapkan. Betapa pelik permasalahan bangsa ini. Semuanya bungkam dikala rakyat jelata semakin tercekik. Semua seakan-akan tak peduli.

Kedudukan, harta kekayaan, kepentingan-kepentingan, permasalahan politik yang tak kunjung selesai, korupsi dari berbagai para pejabat dan berbagai jenis permasalahan yang lebih rumit lagi. BBM yang tak sudah menindas rakyat, dollar yang semakin melunjak. Harga diri bangsa sedang di pertaruhkan. Mahasiswa yang sibuk dengan berbagai tugas kampus, rakyat yang sibuk mengatasi permasalahan ekonomi rumah tangga, ibu-ibu yang kewalahan mengatur uang belanja yang pas-pasan, para ayah yang semakin pusing memikirkan bagaimana cara mencari tambahan belanja dan sebagainya, begitu pelik permasalahan bangsa dan rakyat ini.
Rakyat semakin tercekik, namun para pembesar semakin hidup dalam glamor. Wahai ibu pertiwi, lihatlah negeri ini. Semakin apik dengan berjuta permasalahan. Belum lagi permasalahan gender yang tak kunjung selesai, para aktivitis gender yang ingin bersuara mengatasnamakan penegakan HAM. hah!!! Entahlah, sungguh runyem dan pelik permasalahan bangsa ini. Belum lagi semua seakan-akan berlepas tangan dari semua.

Ketika rakyat ditanya dengan permasalahan negara, mereka hanya mampu berkata “bagaimana mau memikirkan negara, kebutuhan perut saja harus di perjuangkan setiap hari, tak punya waktu lagi untuk memikirkan peliknya urusan negara dan aku hanya bisa apa jika mereka sudah berkata begitu, apalah lagi mahasiswa, mau bicara apa?. Seakan-akan mahasiswa saat ini, suaranya sudah tidak didengarkan lagi, hanya bagai angin lewat di tengah hujan yang memekakkan, tak terdengar sedikitpun. Sepertinya sudah tidak adalagi nilai juang’45 di dalam dada para penghuni negeri ini. Nilai juang dalam memikirkan kondisi bangsa ini.
Jika di ibaratkan dengan “jika negara ini dijual dan diserahkan kepada para penguasa yang punya kepentingan, maka mungkin tidak akan ada yang sadar sama sekali” begitulah kira-kira di ibaratkan kondisi ketidak pedulian ini.

Nilai perjuangan’45 sudah berganti menjadi perjuangan memenangkan perlombaan perayaan kemerdekaan. Bertahun-tahun selalu perayaan kemerdekaan senantiasa di adakan. Dari sabang hingga merauke. Budaya perayaan ini sudah sangat lama, semenjak saya ingusan sampai sekarang masih sama model dan jenis perayaannya. Salahkah? Tidak, tidak ada yang salah. Hanya saja jika budaya ini selau begitu, kapan renovasi nilai perjuangan diterapkan dalam setiap penyambutan kemerdekaan?.

Design ulang model perayaan kemerdekaan, agar nilai-nilai juang para pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak luntur dalam diri rakyat dan pemuda bangsa ini, karena bagaimanapun kita merdeka namun masih terjajah. Nilai juang mesti terus terpatri di dalam diri anak bangsa agar ia tidak lengah dengan permasalahan negara ini. Mesti dibuat design baru perayaan kemerdekaan yang lebih menjiwai nilai-nilai kemerdekaan. Yang mampu menumbuhkan semangat juang generasi dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam mengisi kemerdekaan dan kita pemuda serta rakyat mesti merenungkan, negara ini berpuluh tahun kedepan mau dibuat negara macam apa? Akankah mengalir begitu saja seperti yang sudah berlalu? Penuh dengan pelik permasalahan yang tak pernah kunjung usai untuk diselesaikan.

Negara ini begitu banyak permasalahannya, mulai dari krisis kepercayaan pemimpin, permasalahan ekonomi, cekcok antar suku, adu domba antar pemeluk agama dan sebagainya. Negara ini merindukan para pemuda yang peduli akan nasib bangsa ini, bukan pemuda yang tak tau apa-apa tentang permasalahannya. Jika pemuda tidak ikut andil dalam memikirkan permasalahan bangsa maka dua puluh tahun lagi mungkin negara ini tidak akan memiliki calon pemimpin untuk negerinya.

Kita merdeka, namun masih terjajah. Mental yang di tinggalkan penjajah masih lengket di baju-baju kita. Ngikut pada yang punya kuasa, tak berani angkat bicara meski di posisi yang benar, mau sampai kapan menjadi kacung. Sudah saatnya merdeka dengan arti yang seutuhnya, bebas dalam koridor yang benar.
Semua profesional seakan-akan berjalan sendiri dalam negara ini, seakan-akan tidak saling terkait, padahal sesungguhnya kita berada dalam lingkaran negara indonesia yang harus saling utuh dalam mendukung pembangunan bangsa ini. Semua lini tak boleh terlihat terpisah dan sendiri-sendiri, harus menyatu agar nilai-nilai perjuangan kemerdekaan selalu terpatri. Agar nilai-nilai kepribadian para pejuang mengalir dalam diri generasi. Saling terikat dan saling terkait. Bukan terpisah dan bercerai-berai sendiri-sendiri untuk mengatasi permasalahan bangsa ini.

Penulis: Helmi Yani, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim RIAU

Exit mobile version