Membuang (Budaya Asing) KAMMI Pada Tempatnya

SuaraJakarta, JAKARTA – KAMMI adalah gadis berseragam putih abu – abu yang mendapat senyum  kakak mahasiswi berjilbab putih dengan bendera bergambar kepalan tangan dikelilingi mawar berwarna merah di pusat kota. Gadis itu bergumam dalam hati, suatu saat nanti, dia akan ada dalam barisan bersama kakak mahasiswi tadi, sebagai apapun , membawa benderakah, membagikan selebaran kah, berbicara di podiumkah, apapun. Ya, Kammi adalah senyum kebaikan dan ketertarikan.

KAMMI adalah gairah mengerjakan tugas pertama yang diberikan pada saat jiwa dan raga terwakafkan didalamnya. Taat dan kritis yang dinamis. Bermanfaat dan tidak membahayakan.

KAMMI adalah keterbukaan. Bekerja sama dengan seluruh unsur kebaikan yang ada. walau tak semua kebaikan itu tulus, walau tak semua kebaikan itu benar. Kecerdasan dan kelihaian mutlak diperlukan, agar kita tidak menjadi korban dari kebaikan itu sendiri.

KAMMI adalah transparansi. Saat sebuah gerakan mulai mengalami guncangan ketidakpercayaan dari kader – kader penggeraknya. Saat uang ratusan atau bahkan mungkin milyaran tak diketahui dari mana dan kemana rimbanya. Maka profesionalitas dalam mengelola dengan sikap dan perilaku jujur adalah keharusan.

KAMMI adalah tidak membakar rumah sendiri. Ketika dinamika organisasi layaknya remaja galau yang maju mundur mengirimkan surat simpati pertama kepada si dia. Terombang – ambing hingga layarnya hampir tak berkembang.  Maka menutup kisruh yang terjadi di dalam rumah sekuat usaha dan menyelesaikannya dengan solusi adalah yang terbaik, alih – alih menceritakannya kepada dunia.

KAMMI adalah ide dan narasi besar yang selalu menemani di tiap geraknya. Ide yang menyendiri akan menjebak suatu organisasi pada perdebatan verbalistik saja, tak ada aksi, tak juga eksekusi. Gerak aksi yang terjadipun demikian, tak akan ada perubahan jika segalanya tidak ada pemikiran yang melandasi. Maka KAMMI adalah organisasi pemikiran yang berorientasi aksi gerakan, membangun masyarakat, membangun bangsa.

BACA JUGA  KAMMI Laporkan Metro TV ke KPI

Tidak berlebihan jika penulis menyebutkan bahwa KAMMI adalah masa depan negara dan islam. Kaum intelektual pemuda yang tumbuh bersama suasana peribadatan, tentu memiliki potensi yang suatu saat akan meledakkan perubahan. Sehingga, memaksimalkan potensi di setiap kader dan mentransformasikannya menjadi sebuah kontribusi nyata adalah titik tolak majunya sebuah peradaban bangsa.

Tentu kita ingin KAMMI menjadi tempat yang nyaman bagi semua, sehingga kontribusi yang diberikan merupakan hasil karya nyata yang berangkat dari semangat beramal baik dan keikhlasan dalam berjama’ah. Hal itu menjadi tantangan untuk Kammi hari ini

Mari kita memandang KAMMI dengan jujur, dengan sudut pandang diatas semuanya. Akan kita dapati fakta lapangan yang mungkin membuat kita terheran – heran. Ada budaya asing yang sebelumnya tak pernah sekalipun berada di tubuh organisasi mahasiswa muslim ini, tak pernah dikenal.

Namun kini, budaya tersebut telah menjadi zat yang mengalir dalam darah dan berdetak bersama nadi pergerakan kader didalamnya. Mudah sekali kita memfitnah saudara seiman hanya untuk mendapatkan atau melanggengkan pengaruh terhadap satu sama lain. Dan bodohnya, kita mudah percaya serta seringkali terlambat untuk mencari kebenaran sedangkan situasi telah berubah menjadi mengerikan. Atau bahkan tergesa – gesa menciptakan ‘kebenaran’ dengan versinya sendiri sehingga justru merugikan dirinya dan orang lain.

BACA JUGA  Gaya Hidup, Sebuah Pilihan atau Sudah Terkondisikan?

Konflik internal merupakan niscaya yang harus kita hadapi bersama. Semakin besar suatu organisasi, maka tantangannya bukan lagi berasal dari eksternal, namun dinamika internal juga semakin besar. Tinggal bagaimana kader menyikapinya, semakin kuat mental yang dimiliki kader, maka semakin besar dan berhasilah organisasi tersebut. Juga sebaliknya.

Ketidakmampuan organisasi dalam menyiapkan kader sesuai tantangan zaman akan menciptakan trubulensi diambang batas sehingga banyak kader yang berjatuhan, ketidakpercayaan terhadap pemimpin, bergerak sendiri tanpa koordinasi yang baik, sampai memilih pemimpin dengan dasar ‘like and dislike’ . Tanpa atau sedikit mengacu pada pedoman yang telah digariskan dalam agama.

Bukan berarti kita menyerah pada situasi yang mungkin membuat banyak kader memilih untuk “melipir” jika penulis meminjam istilah yang sedang trend hari ini. Minggir karena tidak siap berkonflik yang sejatinya merupakan anak sah dari sebuah organisasi. Konflik adalah kebutuhan, untuk mereka yang telah siap mengaturnya dengan rapi hingga konflik tersebut justru mendewasakan, menguntungkan semua pihak dan membuat kader menjadi lebih kuat.

Untuk kita semua, mari sediakan “tong sampah” untuk budaya asing yang mengganggu itu, buanglah dia disana. Kini saatnya kita bersatu padu, bersama menguatkan jamaah ini untuk indonesia dan dunia yang lebih baik. Tak adalagi sentimen kedaerahan yang walaupun wajar , namun akan lebih baik  turunkan dulu bendera-bendera lokal kita agar KAMMI kedepan berhasil mendapatkan apa yang telah dicita.

 

 

Tsurayya Zahra
Author: Tsurayya Zahra

Related Articles

Latest Articles