SuaraJakarta.co, JAKARTA – Semakin banyak permintaan publik agar mahasiswa lebih kritis terhadap masalah-masalah yang merundung Indonesia baru-baru ini, seperti kekisruhan politik dalam negeri, melemahnya nilai tukar rupiah, dan keadilan hukum yang semu, membuat Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (DEMA FISIP) Universitas Islam Negeri Jakarta menggelar diskusi intensif dengan tema “Evaluasi Kabinet Kerja Jokowi JK: Analisis Sektor Politik, Ekonomi, dan Hukum”. Diskusi berlangsung pada Kamis, 28 Maret 2015 di FISIP UIN Jakarta. Turut hadir juga dalam diskusi ini pengurus DEMA fakultas lain, lembaga penelitian mahasiswa CIDES Campus, dan gerakan mahasiswa seperti KAMMI dan HMI yang juga meramaikan diskusi.
Diskusi dibuka serta di fasilitatori oleh Ketua Departemen LITBANG DEMA FISIP UIN Jakarta yakni Pandu Wibowo. Menurut Pandu, Indonesia sedang mengalami krisis politik, ekonomi, dan hukum dalam lima bulan terkahir. Krisis politik yang dimulai oleh kekisruhan antara KMP dan KIH, berlanjut ke krisis ekonomi. Krisis ekonomi ditandai dengan penurunan nilai tukar rupiah dan melonjaknya harga barang pokok di masyarakat. Selanjutnya diikuti dengan adanya krisis hukum yang dimana pemerintah mencoba mempermainkan konstitusi untuk memberangus dan memecah belah partai politik di Indonesia. Kasus Duo Bali Nine juga patut mejadi perhatian, karena sampai sekarang waktu eksekusi mati keduanya belum mendapat kejelasan dari pemerintah.
“Lima bulan pelantikan Jokowi JK, Indonesia bukan dihadapkan pada sebuah perubahan yang lebih baik, namun dihadapkan dalam sebuah krisis. Dimulai dari krisis politik yang berlanjut ke krisis ekonomi dan hukum. Krisis politik yang ditandai dengan perseteruan antara KMP dan KIH membuat pertama kalinya Indonesia mengalami devided government (pembelahan parlemen). Tentu hal ini akan menghambat program-program kerja eksekutif dan legislatif kedepannya. Krisis selanjutnya adalah krisis ekonomi yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar diatas 13.000. Walaupun kemarin diberitakan rupiah menguat dikisaran 12.900, tetap saja Indonesia masih sangat rentan mengalami krisis ekonomi. Terlebih Direktur Institute Development of Economics and Finance (Indef), Sri Hartati menilai paket Jokowi untuk menguatkan nilai tukar rupiah belum tentu efektif, karena kalau pemerintah gagal, rupiah akan bablas ke angka 14.000 per dollar AS. Selain krisis politik dan ekonomi, Indonesia juga sedang mengalami krisis hukum. Pemerintah seolah menutup mata dan menabrak konstitusi terhadap penyelesaian konflik di kubuh PPP dan Golkar. Secara sepihak, pemerintah melalui Kemenhumkam lebih melegalkan kbuh Romahurmuzy dan Agung Laksono yang jelas-jelas kubuh mereka tidak memenuhi syarat dan tidak didukung penuh oleh mayoritas kadar-kadernya. Masalah hukum yang lain adalah pembatalan eksekusi mati Dua Bali Nine. Pembatalan yang mengandung tanda tanya besar, terlebih setelah Australia mengatakan akan membongkar kecurangan Jokowi JK di Pilpres jika tetap melakukan eksekusi mati terhadap kedua warga negaranya.” Ujarnya.
Senada dengan Pandu, Koridinator CIDES UIN Jakarta, Fikri Ismail juga mengatakan bahwa pemerintah harus lebih serius lagi menyelesaikan krisis politik, ekonomi, dan hukum. Terutama dalam ekonomi, pemerintah harus menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan. Barang ekspor kita harus melebihi Jumlah barang impor kita jika ingin rupiah menguat.
“Pemerintah harus segera menyelesaikan krisis politik, ekonomi, dan hukum. Terutama sektor ekonomi, pemerintah harus menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan yang dimana menjadi salah satu akibat melemahnya rupiah. Jika pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah ini, maka rupiah akan terus melemah, terlebih jika paket yang dilakukan Jokowi gagal”.
Diskusi semakin seru keika seluruh peserta diskusi menyarankan untuk diadakan diskusi lanjutan sebelum turun kejalan. Dengan diskusi lajutan dan tujun ke jalan nantinya diharapkan seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa jika mahasiswa sudah turun ke jalan berarti ada yang salah dengan pemerintah. Diskusi yang dilakukan sekarang dan turun ke jalan nantinya adalah bentuk protes dan kekhawatiran kami mahasiswa yang di anggap sebagai agen perubahan untuk terus mengkritisi segala kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat Indonesia.
Presiden DEMA FISIP UIN Jakarta, Rifqi Syahrizal juga mengatakan bahwa Joko Widodo sebagai Presiden RI harus merdeka. Merdeka dari siapapun yang mencoba menggerakannya, karena sekarang Joko Widodo adalah seorang pemimpin Negara. Rifqi juga mengatakan mari kita sebagai mahasiwa mengkritisi segala kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat.
“Presiden Joko Widodo harus merdeka dalam memimpin Indonesia. Merdeka dari siapapun yang mencoba menggerakannya. Jokowi juga harus memperjuangkan hak-hak rakyat dan menjalankan amanah rakyat dan amanah konstitusi dengan benar. Bagi mahasiswa yang ingin turun kejalan silahkan asal tujuannya baik untuk membela hak rakyat dan menyadarkan pemerintah. Kita DEMA FISIP juga akan melangsungkan rapat dan pembicaraaan lajutan terkait hal ini dengan BEM FISIP se-Jawa Barat”. Ujarnya.
Diskusi ditiutup dengan semangat yang meluap-luap dari para peserta diskusi untuk segera melakukan diskusi lanjutan dan turun kejalan nantinya. Diskusi juga ditutup dengan kata-kata pembakar semangat dari fasilitator diskusi, Pandu. “Jika jaket biru berlambang UIN Jakarta sudah turun kejalan, berarti ada yang salah dengan pemerintah”.