Site icon SuaraJakarta.co

Duh, Guruku Preman?

Banner Stop Kekerasan di Sekolah (gambar : istimewa)

SuaraJakarta.co

“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya” tegas Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka.

Banner Stop Kekerasan di Sekolah (gambar : istimewa)

Jakarta – Kasus kekerasan di sekolah semakin hari semakin banyak dilaporkan. Bahkan belakangan makin menjadi-jadi, sebabnya adalah karena kekerasan tersebut dilakukan oleh juru gugu dan tiru yaitu guru. Kondisi memprihatinkan itu terjadi di salah satu SMKN di Jakarta. Senin (12/2) lima siswa melaporkan kekerasan yang dilakukan guru sekolah. Mereka mengatakan, oknum guru dan pihak sekolah ringan tangan. Kesalahan yang dilakukan dibayar tamparan dan pukulan. Ironisnya, oknum tersebut memukul dengan memakai ikat pinggang.

Ilustrasi  (gambar : istimewa)

Perilaku itu jelas tidak dapat dibenarkan. Sebab guru sejatinya adalah pendidik dan pemberi teladan terbaik. Ketika murid melakukan kesalahan, kebiasaan main pukul bukan solusi. Sebaliknya, ringan tangan dapat menghasilkan dampak negatif baru. Siswa yang marah, menyimpan bara dendam. Bukan tidak mungkin, suatu waktu nanti dapat tertuntaskan.

Kasus kekerasan, mengutip Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka, seharusnya tidak boleh terjadi. Untuk itu, pelakunya layak dijatuhkan hukuman. Apalagi, kekerasan di sekolah bertentangan dengan konstitusi.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”

Tapi menyalahkan sepihak guru juga tidak menjawab akar persoalan. Perlu ada penjelasan mengapa sang guru melakukan kekerasan. Sebab pada dasarnya, suatu perilaku selalu ada yang latar belakangnya. Ketika ditemukan kesepahaman, persoalan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Berbeda ketika menyalahi aturan hukum, dimana biarkan hukum yang pantas bertindak.

Pada masa mendatang, perlu langkah tegas menghilangkan “premanisme” di sekolah. Guru misalnya, perlu mendapatkan kembali pemahaman aturan dan bagaimana memberi hukuman yang mendidik. Sedangkan siswa membutuhkan penanganan yang komprehensif. Misalnya memberikan bimbingan spriitual, guru memberikan teladan yang baik dan menghapus diskriminasi anak di sekolah.

Exit mobile version