SuaraJakarta.co – Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari dua setengah sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita. (Ir. Soekarno)
Hei.. Maukah kau sedikit berbincang denganku? Diterasmu pun tak masalah jika kau tak cukup semangat untuk beranjak lebih jauh dari tempat ternyamanmu, rumahmu.
Hari yang sangat cerah bukan? Mari tengadahkan kepala kita pada langit yang terbentang luas, seakan tak pernah bertepi. Gumpalan awan tak ayal menghiasi kecantikan hamparan yang sesekali dilintasi burung burung yang menambah keekesotisannya. Indah. Kata itu tepat bersemayam di di kepala kita. Kau tahu, ketika kita memandang langit yang sama, kita pun sedang berpijak di atas tanah air yang sama. Tetapi, apakah pandanganku terhadap negeri ini sama seperti pandanganmu? Apakah pandanganmu sama seperti wanita manis dengan high heels keemasan yang berjalan di trotoar seberang sana? Atau dengan bapak tua dengan setir ditangannya yang sesekali menyeka peluhnya lengkap dengan suara parau mengajak orang orang untuk mejadi penumpangnya?
Memang.. ada yang bilang di negeri yang tanahnya kupijak ini manusianya dianggap terbelakang karena banyaknya pakaian lusuh yang masiih bertebaran, mengganggu pandangan mereka dengan mobil bermerek yang kekinian.
Adapula yang berpikir bahwa bangsa yang bahasanya sangat kucintai ini manusianya tak kenal ketertiban, karena seringnya kerisuhan yang membuat kemacetan dan disertai dengan polusi yang mengganggu pernapasan.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa tanah air yang alamnya selalu aku kagumi ini senang memelihara tikus tikus koruptor yang ternyata lebih hina dari tikus tikus di selokan. Pemakan segala, tak pernah ada puasnya.
Sebagian juga menyatakan bahwa negeri yang kekayaan lautnya melimpah ruah ini penduduknya miskin moral dan etika, karena kriminal yang terjadi sama melimpahnya dengan kekayaan yang dimilikinya.
Ah, ya.. terlalu banyak yang berkata di negeri ini. Namun, sudahkah terlihat geraknya untuk perubahan yang selama ini ia teriakkan di telinga para petinggi Negara?
Dibalik semua kekurangan itu, adakah yang sadar bahwa keanekaragaman alat musiknya tak kalah enak dengan music K-pop dari negeri gingseng? Kreatifitas berbagai budayanya pun tak jarang diapresiasi oleh negeri negeri seberang, keeksotisan alamnya rajin dikunjungi dan dinikmati para pelancong , tak lupa rempah rempahnya yang rela dicari jauh jauh oleh para penjajah, yang bahkan dapat kita temukan disalah satu sudut rumah kita. Belum lagi gunung, pantai, sawah dan candi candi yang tak pernah bosan kita puji keindahannya.
Indonesia yang seingkali disyairkan Chairil Anwar
Indonesia yang terbakar semangatnya karena Soekarno dan Bung Tomo
Indonesia yang diharumkan namanya oleh para ilmuwan dan atlit di kancah dunia
Indonesia yang sama sama kita pijak detik ini
Aku ingin kita melihat negeri ini seperti para investor yang melihat Negara ini layaknya gundukan berlian yang menunngu untuk digali dan diasah potensinya. Ya, kita bersama. Karena terlalu banyak yang harus dilawan. Terlalu banyak yang harus diperjuangkan. Dan terlalu banyak jika harus mengerjakan sendirian. Sebatang lidi takkan mampu membersihkan halaman rumah sendirian. Ia hanya akan rapuh sebelum misi tersebut selesai. Lain halnya dengan batang batang lidi yang disatukan, kuat, kokoh, yang akan lebih mudah untuk membersikan halaman itu.
Aku yakin kau tau negeri yang kubicarakan ini namanya apa, namun bukan itu yang ingin aku tanyakan. Pertanyaanku adalah apakah kita hanya akan membicarakannya terus menerus atau kau mau keluar dari tempat ternyamanmu ini dan berkomitmen membuat perubahan dimulai dari dirimu sendiri?
Dirgahayu Indonesiaku!
Penulis: Nurul Inayah, Mahasiswa UIN Syarif HIdayatullah Jakarta