SuaraJakarta.co
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…” Penggalan Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia.
PADA 8 Januari 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi melakukan sebuah langkah besar untuk Sistem Pendidikan Indonesia. Pada tanggal itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan) terkait uji materiil Pasal 50 ayat 3 UU Sistem Pendidikan Nasional dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini artinya, secara hukum keberadaan RSBI di seluruh Indonesia harus dihapuskan.
Menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan yang terdiri dari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), IGI (Ikatan Guru Indonesia), FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) dan FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) mendesak DPR-RI untuk mematuhi segera keputusan MK tersebut. Mayoritas kalangan masyarakat puas atas keputusan Mahkamah Konstitusi ini. Namun,pertanyaan lebih lanjut saat ini adalah, “Bagaimana nasib pendidikan Indonesia pasca dikeluarkannya keputusan pembubaran RSBI ini?”
Ada sedikitnya 2 isu utama yang perlu sama-sama dikawal pelaksaannya selepas sistem RSBI ini dihapuskan. Isu tersebut adalah masalah akses pendidikan dan kualitas pengajaran tiap satuan pendidikan.
Diskriminasi pendidikan terjadi karena status RSBI dahulu “dimanfaatkan” untuk memungut biaya lebih kepada peserta didik. Dengan dalih kualitas pendidikan yang baik, hal ini pun menjadi lumrah. Akibatnya, masyarakat yang berasal dari golongan menengah ke bawah mengalami kesulitan untuk memperoleh akses pendidikan.
Dengan dihapuskannya RSBI, Diskriminasi pendidikan seharusnya tidak terjadi lagi. Sebab, segala macam pungutan terkait kegiatan pendidikan di sekolah menjadi barang illegal. RSBI bubar dan jadi sekolah biasa. Hari ini tidak ada internasional lagi,” kata Juru Bicara MK, Akil Mochtar.Artinya, beban biaya yang harus ditanggung oleh orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya di sekolah menjadi lebih terjangkau. Tidak ada lagi sekolah yang boleh mengambil biaya lebih dengan dalih meningkatkan kualitas penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. “Karena sekolah negeri sudah dibiayai negara,” tegas Akil Mochtar lagi.
“Konsekuensinya Informasi ini perlu untuk kemudian disebarluaskan lebih gencar lagi, baik melalui media massa maupun dari mulut ke mulut. Hal ini penting untuk memastikan lebih banyak kalangan masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang informasi ini. Dengan begitu, pandangan umum masyarakat terkait “pendidikan itu mahal” dapat dikurangi, dan semangat untuk menimba ilmu di sekolah menjadi lebih tinggi lagi.
Selain dari pihak peserta didik yang melakukan partisipasi aktif menyebarluaskan informasi ini, pihak penyelenggara pendidikan juga rasanya perlu untuk memberikan upaya terbaiknya dalam menyelenggarakan pendidikan berkualitas di negeri ini. Meskipun tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan pungutan biaya pendidikan kepada siswa, pihak penyelenggara pendidikan (dalam hal ini sekolah) diharapkan tetap konsisten untuk terus meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar di lembaganya masing-masing.
Memang, untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas sangat dibutuhkan adanya dukungan dana yang cukup. Namun bukan berarti dengan dana yang ada justru pihak sekolah mengorbankan kualitas pendidikannya. Perlu ada sinergi antara pihak sekolah dengan pihak peserta didika secara intens agar tercipta iklim kegiatan belajar mengajar yang kondusif, sehingga cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud dengan maksimal.
Sekali lagi, langkah Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan uji materiil terhadap pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bukanlah sebuah akhir dari perjuangan. Justru, ini seharusnya mampu menjadi sebuah titik tolak yang sangat kuat untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkualitas. Tentu, butuh banyak dukungan dari semua pihak untuk mampu mengawal dan memastikan keputusan Mahkamah Konstitusi ini tak hanya sekedar kegembiraan sesaat saja. Untuk itu, mari bersama selaraskan langkah untuk membuktikan: Penghapusan RSBI bukanlah sebuah Euforia Belaka! [SJ]
Sabilil Akbar Husniaputra | Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung