SuaraJakarta.co, BANDUNG – Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada Senin malam, 17 November 2014. Harga Premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500, sedangkan solar dari Rp 5.500, menjadi Rp 7.500 per liter. Pemerintah mengklaim pemangkasan subsidi BBM akan memberikan ruang fiskal hingga Rp 100 triliun. Sehingga dana subsidi untuk bahan bakar minyak dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sektor yang lebih produktif.
Namun harga minyak dunia saat ini merosot ke titik terendah setelah negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC memutuskan tidak menurunkan produksi di tengah pasar yang kelebihan pasokan. Di New York Mercantile Exchange, Jumat, 28 November 2014 waktu setempat, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari ditutup pada level US$ 66,15 per barel atau turun US$ 7,54 dibanding sebelumnya. Hal ini menimbulkan berbagai kontroversial, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga dari dalam pemerintahan sendiri.
Kenaikan harga BBM ini mengakibatkan naiknya berbagai macam harga kebutuhan pokok bagi masyarakat. Tentunya hal ini akan memberatkan rakyat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Tidak hanya itu, hal ini juga berdampak bagi sarana transportasi umum. Contohnya angkutan kota yang menjadi sulit untuk beroperasi karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari sebelumnya.
Untuk memecahkan permasalahan ini, salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dibangun oleh dua BUMN yang bertugas untuk membangun infrastruktur gas, yakni PT Pertamina (persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Tbk). Namun hal itu terbengkalai karena minimnya dukungan dari pemerintah.
Menurut Vice President of Corporate Communication of Pertamina Ali Mundakir, konsumen yang menikmati BBG masih terbilang sedikit meski harganya jauh lebih murah ketimbang BBM, yaitu Rp. 3.100 per liter setara premium (lsp). BBG sepi peminat lantaran untuk mengonsumsi bahan bakar tersebut dibutuhkan suatu alat konversi (converter kit). Di mana untuk menciptakan konsumen BBG ini, pemerintah seharusnya memfasilitasi setiap angkutan umum yang lewat jalur yang ada SPBG memberikan converter kit.
Penyediaan converter kit dalam jumlah massal tentunya tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Pemerintah dapat mengajak investor untuk ikut berkontribusi untukk mendukung terlaksananya program ini. Tidak hanya itu bahkan pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta dalam pengadaan converter kit bagi angkutan umum. Tentunya akan ada pembagian keuntungan antara pihak pemerintah dengan swasta. Pemerintah dapat menganggarkan 10% dari keuntungan penggunaan BBG ini kepada pihak swasta 90 % untuk pemerintah dalam periode 5 sampai 10 tahun. Harapannya, perencanaan ini didukung pemerintah, sehingga program inovatif ini dapat menjadi solusi untuk menghadapi masalah kenaikan harga BBM yang melanda negeri kita.
Penulis: Muhammad Yogi Saputra, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung.