Site icon SuaraJakarta.co

Di Ujung Jalan Edelweiss

Di Ujung Jalan Edelweiss

(Foto: wibowoadigunawan.wordpress.com)

Oleh Mohamad Fadhilah Zein

Tahu kamu apa yang dinamakan cinta? Cinta itu seperti berlari mengejar sesuatu sehingga kita terengah-engah dibuatnya. Tahu kah engkau apa yang dimaksud dengan nafsu? Nafsu seiring dengan napas yang dihembuskan tersengal-sengal ketika kita mengejar kenikmatan yang kita yakini bahwa itu adalah benar-benar nikmat. Lalu bagaimana dengan asmara? Yakinlah bahwa asmara hadir ketika cinta dan nafsu berjalan seiring dalam regukan kenikmatan dan kita dibuat mabuk kepayang olehnya. Inilah kisah yang ingin aku tuturkan untuk anak manusia yang terlena dengan indahnya cinta, kemilaunya nafsu dan semerbaknya harum asmara.

******************

Aku berlari mengejar waktu yang tinggal lima belas menit lagi akan berakhir. Di sana, di sebuah tempat yang menjadi ajang perebutan 1.500 orang untuk meraih mimpi, hasrat, ambisi dan kekuasaan. Aku adalah bagian dari permainan yang tidak mengenal kalah. Kalah berarti berhenti, menang diartikan sebagai keharusan yang tidak jelas titik akhirnya.

Aku seorang pria mapan yang malang melintang di sebuah perusahaan periklanan bertaraf internasional. Lima belas tahun merupakan waktu yang tidak sebentar. Seperti hari-hari sebelumnya, aku berlomba menjadi yang pertama di kantor. Di kawasan segitiga emas kota Jakarta. Di tengah hiruk pikuknya ibukota.

Denyut nadi orang-orang yang bertarung untuk meraih asa. Sementara aktivitas manusia beragam dan bergerak dalam simfoni yang indah. Bagai dawai yang dipetik secara serampangan, tapi mampu menghilangkan nyanyian gundah. Alunan bunyi yang membuat sang penari tidak berhenti, senantiasa bergerak, hingga dia hilang, terbang dan akhirnya kembali ke titik awal.

Aku dipanggil Sam. Aku dipercaya sebagai Creative Visual Division Head. Sebuah jabatan yang diburu oleh para pecinta seni. Ambisi meluapkan keindahan mahakarya ke dalam sebuah komunikasi kreatif visual. Dengan sentuhan jiwa-jiwa kreatif, lahir keindahan yang dinikmati oleh mata-mata yang terbiasa dengan kelembutan dan kreativitas.

Langkahku memburu cepat. Ambisi menaklukkan tantangan begitu bergelora. Apa yang diharapkan oleh seorang karyawan sepertiku? Selain target yang terpenuhi, komentar-komentar baik dari atasan, kompensasi materi dan segudang senyuman rekan-rekan sejawat. Percayalah, aku pria mapan yang diincar gadis-gadis cantik berfisik menawan.

Gadis? Ah, aku teringat sesungging senyum Bernadette, si cantik berdarah campuran Jawa-Spanyol. Kecantikannya mampu melenakan siapa pun yang melihatnya.

Vionita Andara, adalah bidadari lain yang mampu menyihir para pemuda di kantor ini. Dia dijuluki violin karena lekuk tubuhnya yang indah. Wanita ini merupakan kesempurnaan ciptaan Tuhan di muka bumi. Aku teringat dengan ucapannya.

“Sam, aku mengagumi dirimu. Kamu adalah pria yang berbeda dari yang lain. Aku siap menjadi belahan jiwamu.”

Aku hanya tersenyum sambil memainkan segelas wine dalam sebuah makan malam di hotel berbintang lima di Jakarta. Ah, Vionita, aku ingin sekali menerima dirimu. Aku tidak mungkin menjalani hidup ini seorang diri. Tapi, aku khawatir kecantikanmu menjadi beban bagi diriku. Aku tidak rela berbagi keindahanmu dengan yang lain. Aku tidak siap ada pria lain yang menikmati keindahan tubuhmu walau hanya pandangan sesaat.

Masih ada yang lain, Jessica Cinthya Maureen. Pernah mendengar kulit bidadari di surga selembut sutra? Atau kulit bidadari yang sangat putih hingga bisa dilihat aliran darahnya? Nah, kira-kira Jessica seperti itu. Mata mana yang tidak nanar melihat kulit yang demikian menawan.

Ada yang berseloroh, “Jessica merupakan bidadari yang didahulukan di dunia. Dia adalah zamrud yang disimpan dengan hati-hati di tempatnya. Pria yang mendapatkannya pasti beruntung.”

Aku pekerja keras, dan aku pria biasa yang membutuhkan belaian wanita. Siapa yang harus disalahkan ketika aku memilih karir ketimbang jodoh. Mengapa harus dianggap keliru jika kesibukan telah membuat sirna fantasi-fantasi percintaan? Apakah dianggap tidak normal jika aku, si pria mapan, menunda pernikahan, karena target-target pekerjaan yang harus ditunaikan? Aku menyukai kalian semua wahai gadis-gadis pemburu kemapanan. Tapi aku memilih yang berbeda.

Aku mulai duduk di kursi dan membuka laptop. Secangkir kopi hangat sudah tersedia untuk dinikmati. Meja kerja yang dipenuhi berbagai peralatan kantor. Rutinitas siap kujalani.

“Sam, klien kita meminta revisi konsep iklan yang kemarin sudah kita tawarkan. Ada yang tidak sesuai dengan motto perusahaan mereka,” suara jelita Vionita tiba-tiba hadir di pintu masuk.

Si violin ini mendekati mejaku, dan langsung duduk di kursi. Merekah sekali senyumnya di balik gincu merah yang senantiasa dia poles setiap hari. Dia menjabat sebagai Senior Account Executive yang berhubungan dengan klien. Keharusannya untuk tampil bak dewi cinta saat memaparkan tawaran kepada bos-bos perusahaan. Dia adalah darah untuk memompa denyut perusahaan agar senantiasa mengalir.

“Saya sudah bicarakan ini dengan direktur pemasaran di sana. Revisi yang kita lakukan tidak terlalu besar. Nanti akan kita tangani,” aku menjawab sambil menatap wajahnya.

Vionita tidak merespon apa yang sudah kukatakan. Cukup lama dia terdiam, namun kami berdua saling menatap. “Kok diam?” Aku bertanya.

“Sam.”

“Ya?”

“Sampai kapan, Sam?”

“Apanya?”

“Sampai kapan kamu berpura-pura?”

“Aku berpura-pura?”

“Kenapa kamu nggak mengerti juga?”

“Aku nggak ngerti maksudmu?”

Vionita menghela napas. Ada sesal di matanya yang indah. Ada harapan di balik rona mukanya yang merah. Sesal dan harapan adalah dua hal yang bisa ditemui di wajah wanita yang tengah dirundung cinta.

“Aku tunggu kamu di ujung Jalan Edelweiss malam ini,” kata Vionita sambil bangkit dari duduknya.

Aku menghela napas singkat. Sepertinya persoalan ini tidak mudah untuk dibiarkan begitu saja. Edelweiss adalah nama jalan yang biasa aku lalui bersama Vionita. Di jalan itu, kami sering menghabiskan waktu sepulang kerja. Melepas penat dari rutinitas harian yang menyedot tenaga. Sambil menyeruput wedang jahe menjelang tengah malam. Duduk di pinggir jalan menikmati cahaya rembulan. Di tempat ini pula Vionita mencurahkan perasaannya kepadaku pertama kali.

“Sam, kamu kok belum beristri?” Vionita melempar pertanyaan yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

“Hemm, aku belum menemukan yang cocok.”

“Kok bisa. Kamu ganteng, mapan, memiliki karir yang cemerlang. Pasti banyak wanita yang suka sama kamu?”

Aku terdiam saat itu. Vionita mencari sesuatu di balik mataku. Dia seperti berharap ada sesuatu yang akan kukatakan.

“Sam, aku suka kamu,” ungkap wanita ini dengan lirih.

Aku terkesiap. Darahku mengalir dengan kencang. Vionita menggenggam jemariku dengan lembut. Tidak ada sesuatu katapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya membisu. Malam itu menjadi kenangan yang sulit berlalu begitu saja. Ah, Vionita. Apalagi yang akan kamu katakan di Jalan Edelweiss? Aku membatin. Pikiranku melayang tidak tahu apa yang harus kujelaskan nanti malam.

****************

Sepucuk surat elektronik masuk ke dalam email di blackberry-ku. Akun pengirim email itu adalah violin_vionita. Aku membukanya.

“Sam, sudah lama hati ini membeku. Aku mencari cara agar kristal di hatiku bisa pecah dan mencair. Aku wanita, Sam. Membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang pria. Mungkin bagi kamu, aku adalah teman biasa. Tapi, aku menganggap hubungan kita ini tidak biasa. Tidak bisakah kamu merasakan getar-getar hatiku yang membiru? Aku terengah-engah mengejarmu, Sam. Aku mengagumi bukan hanya karena fisik dan kekayaanmu. Lebih dari itu. Aku merasa engkau adalah belahan jiwaku yang hilang dan selama ini aku cari. Sam, kamu adalah kenikmatan bagiku. Dan, aku berharap kelak aku menjadi bagian dari kenikmatanmu. Aku mabuk kepayang, Sam. Percayalah, kamu adalah indahnya cintaku, kemilaunya nafsuku dan semerbaknya harum asmaraku.”

Aku tertegun. Surat elektronik yang ditulis oleh pujangga wanita. Aku teringat pepatah, ketika seseorang jatuh cinta maka dia akan menjadi penyair. Sungguh benar pepatah itu. Vionita sudah membuktikan dirinya mampu bersyair, ketika dia mabuk kepayang oleh asmara. Aku jadi ingat ketika wanita itu memohon kepadaku untuk dinikahi.

Malam itu, di ujung Jalan Edelweiss, Vionita mengeluarkan cincin emas, dan diberikannya kepadaku.

“Sam, ambil cincin ini. Berikan kepadaku, dan katakan, will you marry me.”

Rupanya Vionita sudah kehilangan akal sehatnya. Dia nekat melakukan itu karena sudah tidak tahan ingin segera dinikahiku. Dinginnya malam berubah menjadi panas. Tetesan keringat jatuh satu-satu dari keningku lalu meluncur ke dagu, dan akhirnya membasahi tanah yang kupijak. Aku hanya bisa diam dan tetap membisu.

“Sam, aku ingin memilikimu. Aku berharap cintamu.”

Vionita berujar lirih. Ada cahaya di kedua matanya. Meski lampu tidak menerangi seluruh jalan, namun aku masih bisa melihat kelopak mata Vionita yang dihiasi pelangi duka. Tidak lama kemudian bahunya terguncang perlahan. Wanita ini terisak pelan-pelan, lalu dia menangis tersedu sedan.

“Sam, nikahi aku. Aku ingin menjadi bagian hidupmu,” katanya dengan meninggikan suara.

Beberapa orang yang berdekatan dengan kami menoleh sesaat. Tapi, tidak lama kemudian, mereka kembali kepada kesibukan masing-masing. Tempat ini memang biasa dikunjungi sepasang muda-mudi yang ingin mencari suasana berbeda untuk menghabiskan malam.

“Sam, mengapa kamu diam?”

Aku benar-benar mematung. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku.

“Kamu kejam, Sam. Aku siap mengakhiri hidup ini jika kamu menolak hidup bersamaku.” Vionita bangkit dari duduknya. Dia terguncang dan setengah berlari meninggalkanku yang masih diam seribu bahasa. Malam itu menjadi akhir dari pengharapan Vionita. Aku tetap pada pendirianku untuk menunda pernikahan.

Tiba-tiba kenangan ketika aku masih remaja kembali melintas dalam pikiranku.

“Pak, jangan tinggalkan kami. Anak-anak bagaimana, Pak? Sekolah mereka nanti bagaimana?”

Suara ibu meraung-raung di pintu masuk. Kenangan masa lalu yang begitu membekas dalam diriku. Ayahku tidak peduli meski ibu sudah berlutut sambil menangis kencang. Pria itu meninggalkan kami karena memilih hidup bersama wanita lain yang umurnya lebih muda. Aku ingat betul. Aku bersama tiga saudaraku hanya mengurung diri di dalam kamar. Adik bungsu kami, Kevin, menangis keras karena merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Aku yang dirundung kebingungan, berusaha mendiamkannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan waktu itu.

Ibu mulai sakit-sakitan karena tidak kuasa menerima cobaan yang begitu berat. Wanita yang telah melahirkan aku dan adik-adikku ini akhirnya meninggal dunia sejak dua bulan ditinggal ayah. Kami pun hidup semakin tidak jelas. Hanya kebaikan saudara-saudara ibu yang membuat kami bertahan.

Ada duka yang begitu mendalam akibat kepergian ayah. Aku digembleng oleh kehidupan yang tidak mengenal belas kasih. Aku ditempa oleh kerasnya dunia. Sebagai anak sulung, aku dididik untuk bertanggungjawab dan memahami bagaimana berterimakasih kepada orang yang sudah mengasuh kami. Aku tidak mengenal cinta dan kasih sayang. Kedisiplinan dan kerasnya kehidupan yang kujalani, menjadikanku sebagai sosok yang tegas.

Aku bersyukur kehidupan yang kujalani berakhir dengan kebaikan. Aku mampu mengangkat derajat adik-adikku. Mereka meraih gelar sarjana untuk modal mencari kehidupan yang lebih baik. Aku terlepas dari keterpurukan dunia. Itu semua tidak lepas dari didikan pamanku yang menggemlengku dengan kedisiplinan dan kerja keras.

**************

Aku berdiri di atas pusara yang masih merah. Gundukan tanah yang baru saja selesai diurug oleh penjaga makam. Dedaunan di sekitar pemakaman ini menari tidak peduli dengan kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang yang berkunjung. Vionita Andara, nama yang ditulis di nisan berwarna putih. Dia meninggal dunia dua hari yang lalu di kamarnya. Polisi menemukan dua botol obat penenang dosis tinggi di sampingnya.

Aku kaget bukan kepalang ketika ditelepon salah satu anak buahku tentang meninggalnya Vionita. Wanita cantik ini membuktikan perkataannya untuk mengakhiri hidupnya. Aku meletakkan secarik kertas putih di atas makam yang masih basah ini. Aku tidak berharap dia membacanya. Tapi, aku ingin menyampaikan rasa yang selama ini terpendam. Aku menulis di atas kertas itu beberapa kalimat yang sebenarnya sudah lama ingin kusampaikan.

“Violin, aku adalah si pandir yang hidup di tengah gurun Sahara. Cinta yang kamu tawarkan adalah secawan air yang dingin dan menyejukkan. Aku layak dibilang bodoh, karena begitu panasnya terik matahari, dan kondisiku yang mendekati ajal, aku menolak pemberian air segar itu. Bahkan aku menampiknya, sehingga cawan itu jatuh, pecah dan airnya pun terbuang percuma. Aku sadar kini, bahwa matahari yang panas, bisa dihilangkan jika dahaga di tenggorokanku disiram air yang segar. Dahulu, aku adalah manusia yang ditinggal pergi oleh ayahku. Seseorang yang seharusnya menjadi tulang punggung hidupku, namun dia pergi begitu saja. Akibat perbuatan ayahku, aku dan adik-adikku juga kehilangan ibu yang sangat aku cintai. Aku takut mencintaimu, Violin. Aku takut mengecewakanmu di kemudian hari. Aku tahu, kamu tidak terlalu banyak berharap pada diriku. Tapi, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak rela jika kamu tersakiti akibat perbuatanku kelak.”

Air mataku menetes pelan-pelan. Aku menarik napas panjang, sekedar melepas beban di pundakku. Angin bertiup tidak kencang, tapi tubuhku seperti melayang. Aku beringsut pergi meninggalkan Violin yang sudah damai di tempat peristirahatannya. (*)

Exit mobile version