[Opini] Oleh: Prof. Mahsun, Guru Besar Bidang Linguistik, Universitas Mataram Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud 2012-2015
MUDIK, demikianlah salah satu kata dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang dimuat untuk pertama kalinya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karya Poerwadarminta (Edisi Kedua, cetakan pertama, tahun 1976) dan setelah itu, kata tersebut dimuat sebagai salah satu lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mulai edisi pertama (1988) sampai edisi selanjutnya, misalnya pada edisi keempat (2008: 933). Dengan demikian, setakat ini, kata mudik merupakan salah satu unsur leksikal yang memperkaya daya ungkap bahasa Indonesia.
Dari sudut pandang linguistik (ilmu bahasa) khususnya bidang semantik, sejauh ini, tidak ada masalah dengan pemaknaan kata mudik, karena masyarakat Indonesia sudah sangat familier dengannya. Setiap tahun masyarakat Indonesia disuguhkan penggunaan kata itu untuk menandai adanya pergerakan manusia (secara besar-besaran) dari perkotaan ke perdesaan, Sebegitu besarnya pergerakan manusia dari kota ke desa atau kampung tersebut telah mengharuskan negara hadir untuk menjamin berlangsungnya peristiwa itu secara damai, aman, dan lancar. Namun, kata mudik ternyata tidak hanya memiliki daya pemaksa secara semantik agar penuturnya membincangkan dirinya dalam hubungannya dengan masalah keagamaan, khususnya idul Fitri, tetapi dua hari ini kata itu menjadi pusat perbincangan justru bukan dalam konteks keagamaan, melainkan dalam konteks memutus mata rantai penyebaran wabah virus yang menggemparkan dunia, yaitu Covid-19.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Pasalnya, orang nomor satu di Republik Indonesia ini, Bapak Presiden Joko Widodo, mengintroduksi pemaknaan baru kata mudik yang cenderung berbeda maknanya dengan makna kata itu di dalam kamus.
Untuk memperjelas ada baiknya, dikutip penggalan wawancara yang dilakukan Najwa Shihab dalam sesi acara Mata Najwa di Trans7, pada Rabu, 23 April 2020, pkl 20.00–21.30 WIB, berikut. (Najwa Sihab): “…Kemudian ini nyambung dengan mudik Pak, kontroversi mudik, yang sempat diawal-awal komunikasi publiknya sempat simpang siur…kenapa tidak dilarang sekarang Bapak, kenapa harus menunggu melihat situasi, sementara…(Disela Bapak Presiden) “… ya kita kan kemarin, kita memakai ada transisinya. sehingga jangan sampai menimbulkan syok, justru memunculkan masalah baru…’ (Najwa Sihab): Tapi yang dikhawatirkan bahkan masalah itu sudah timbul Pak. karena data dari Kemenhub sudah hampir satu juta orang curi star mudik, sudah sembilan ratus ribu orang yang sudah mudik dan sudah tersebar ke berbagai daerah.
Apakah berarti ini memang keputusan melarang itu baru akan dikeluarkan melihat situasi tapi faktanya sudah terjadi penyebaran orang di daerah, Bapak…”
(Bapak Presiden): “…Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. memang bekerja di Jabodetabek di sini sudah tidak ada pekerjaan mereka pulang, anak-isterinya ada di kampung.
(Najwa Sihab): “…apa bedanya Bapak, pulang kampung dan mudik? …”.
(Bapak Presiden): “…kalau mudik itu di hari lebarannya, … pulang kampung, kerjanya di Jakarta tetapi anak istrinya di kampung.,,”.
Dari cuplikan dialog antara Najwa Shihab sebagai Tuan Rumah Mata Najwa dengan Bapak Presiden Joko Widodo, tergambar bahwa Bapak Jokowi mereduksi makna leksikal kata mudik dari maknanya:
(1) (berlayar, pergi) ke udik dan
(2) pulang ke desa/kampung, menjadi bermakna sebagai peristiwa pulangnya warga perantauan ke kampung halamannya di saat hari Raya Idul Fitri.
Ihwal kata mudik itu sendiri, secara diakronis merupakan kata bentukan melalui proses afiksasi, bukan proses abreviasi.
Kata itu tidak dibentuk melalui proses abreviasi/penyingkatan dari bahasa Jawa: mul(e,i)h ‘pulang’+ dilik ‘sebentar’ > mudik, tetapi dibentuk melalui proses afiksasi: {me-/ma-} + udik > me/maudik > mudik (terjadi penghilangan vokal: e/a pada afiksnya. Imbuhan {me-/ma-} merupakan imbuhan yang menyatakan makna aktif dalam bahasa-bahasa Austronesia Barat, misalnya dalam bahasa Jawa: {ma-} + ulih/uleh> mulih atau muleh; dalam bahasa Sumbawa: {ma-} + ulek > mulek ‘pulang’
Suatu hal yang menarik adalah dibedakannya kata mudik dengan “pulang kampung” yang sebenarnya di dalam kedua kamus bahasa Indonesia tersebut, konstruksi pulang ke desa/kampung merupakan salah satu makna dari kata mudik itu sendiri. Untuk keperluan itu, Bapak Jokowi memberi makna baru pada konstruksi “pulang kampung” sebagai peristiwa pulangnya para pekerja di perantauan ke kampung halamannya tempat anak dan istrinya ditinggalkan, yang tentunya terjadi kapan saja.
Persoalannya, bolehkah kita mengubah makna suatu kata/istilah yang terdapat dalam suatu bahasa?
Untuk menjawab persoalan ini, baiknya dicermati beberapa sifat dasar dari bahasa manusia.
Pertama, bahasa manusia itu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan penuturnya, itu sebabnya, di dunia ini terdapat perbedaan kemampuan daya ungkap yang dimiliki antarsatu bahasa dengan bahasa lain, sebagai contoh jumlah perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris mencapai satu juta, sedangkan bahasa Indonesia berjumlah 91.000 (KBBI, 2008), bahasa Melayu Malaysia 18.000 (Kamus Dewan 1988).
Kedua, Bahasa manusia itu bersifat arbiter/manasuka, maksudnya bahwa kata-kata dalam bahasa itu diciptakan oleh penuturnya secara manasuka. Sifat yang kedua ini, memungkinkan terjadinya perbedaan penamaan tentang satu konsep yang sama antarbeberapa bahasa, misalnya apa yang disebut sebagai ‘celana’ oleh orang berbahasa Melayu/Indonesia, oleh orang Jawa disebut: katok, oleh orang Sumbawa disebut: seluar. Tidak ada hubungan logis antara nama dengan konsepnya. Apabila bertitik tolak dari dua sifat dasar di atas maka tidak ada alasan untuk menolak pemaknaan baru dari kata mudik dan pulang kampung yang diberikan oleh Bapak Jokowi. Apa lagi, beliau memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai orang nomor satu di Republik ini. Bukankah makna kata atau tuturan itu salah satunya ditentukan oleh siapa yang mengucapkan kata tersebut?
Berbeda nuansa semantis kata “lawan” yang diucapkan Bapak Jokowi dengan yang saya (penulis) ucapkan. Lagi pula, mengubah makna suatu kata dari makna yang luas ke makna yang lebih spesifik/menyempit lazim terjadi, misalnya, kata “alim” dalam bahasa Arab yang berarti pandai atau ahli dalam bidang ilmu pengetahuan apa saja, dalam bahasa Indonesia, kata itu mengalami penyempitan makna menjadi hanya untuk merujuk pada orang yang pandai/ahli dalam bidang ilmu keagamaan. Namun, peluang yang membolehkan perubahan bahasa dalam kasus Bapak Presiden Joko Widodo tersebut dapat dinafikan dengan alasan berikut ini.
Bahwa bahasa manusia itu bersifat berubah dan berkembang sesuai perubahan dan perkembangan masyarakat penuturnya dan penciptaan bahasa itu bersifat arbitrer memang nyata adanya, tapi argumen itu dapat dilemahkan oleh sifat dasar ketiga yaitu, bahasa manusia bersifat terikat pada kesepekatan masyarakat penuturnya. Mengapa harus dilandasi kesepakatan penuturnya, karena bahasa hanya akan hadir jika manusia lebih dari satu. Jika sekiranya manusia di dunia hanya seorang diri, maka bahasa tak perlu hadir. Bahasa hadir untuk memfungsikan manusia sebagai mahluk sosial dan karena itu mereka harus memiliki sarana penghubung yang mereka ciptakan dan mengerti bersama, yaitu bahasa.
Bahasa merupakan hasil konsensus masyarakat penuturnya atas penciptaan atau perubahan kata secara arbitrer.
Kemudian terkait argumen, bahwa perubahan makna dari yang cakupannya luas ke yang cakupannya lebih sempit lazim terjadi seperti dicontohkan di atas memang sudah menjadi sifat dasar lain dari bahasa manusia, namun proses yang terjadi pada kasus kata “alim”, misalnya berbeda dengan kasus perubahan makna kata “mudik” yang diintroduksi Bapak Jokowi.
Perubahan yang dilakukan penutur bahasa Indonesia atas kata “alim” bahasa Arab tersebut terjadi sebelum kata itu menjadi unsur leksikal kolektif penutur bahasa Indonesia, jadi belum didaftarkan di dalam kamus bahasa Indonesia. Kata itu terdaftar dalam perbendaharaan (kamus) bahasa Indonesia dengan maknanya yang mengalami penyempitan. Adapun untuk kasus kata “mudik,” diintroduksi maknanya menjadi menyempit saat kata itu sudah terdaftar sebagai kekayaan bahasa Indonesia di dalam kamus, dengan makna di antaranya, sebagai pulang ke desa/kampung.
Apalagi harus diingat, bahwa kamus merupakan salah satu piranti dari kodifikasi suatu bahasa yang menjadi kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar. Kamus bersama Tata Bahasa Baku, dan Ejaan Baku (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) merupakan perangkat aturan kebahasaan yang dijadikan kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar atau berbahasa Indonesia standar/baku.
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi setiap warga negara Indonesia menjadi kewajiban seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Selain itu, kebaradaan piranti peraturan kebahasaan yang bersifat baku di atas memiliki makna penting dalam dua hal, yaitu: sebagai dasar bagi dimungkinkannya bahasa untuk ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui jalur pendidikan dan sebagai dasar untuk menjaga ikatan warga negara dalam satu kesatuan komunitas bangsa. Adalah tidak mungkin suatu bahasa ditransmisikan ke generasi penerus melalui jalur pendidikan tanpa kodifikasi bahasa yang berwujud standardisasi aspek kebahasaan di atas. Hal itu disebabkan pendidikan/pembelajaran mempersyaratkan adanya evaluasi capaian hasil pembelajaran. Untuk menyatakan bahwa siswa tertentu memperoleh nilai baik sementara yang lainnya kurang baik dalam pembelajaran bahasa maka harus ada materi standar/baku yang akan dijadikan patokan dalam penilaian. Artinya, kodifikasi bahasa penting bagi dunia pendidikan.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan pentingnya kodifikasi aspek kebahasaan bagi upaya menjaga keutuhan komunitas bangsa, dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya bahasa standar dapat mempertahan laju perubahan satu bahasa menjadi beberapa bahasa baru. Dalam teori linguistik diakronis, perbandingan bahasa, bahasa manusia ini sesungguhnya berasal dari sebuah bahasa purba. Itu sebabnya, berdasarkan bukti-bukti perangkat kata berkerabat (cognate sets) yang ditemukan dalam bahasa-bahasa modern, para komparatifis (ahli perbandingan bahasa) berhasil merekonstruksi bahasa purba (protolanguage), misalnya kita mengenal Protobahasa Austronesia untuk bahasa purba dari tidak kurang 1200 bahasa yang masuk kelompok Austronesia, Protobahasa Indo-Eropa untuk bahasa purba, bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Indo-Eropa dan sebagainya.
Munculnya beragam bahasa yang tidak kurang dari 6.000 buah bahasa di dunia berawal dari sebuah bahasa purba. Melalui proses historis, temporal, politis, sosial, spasial, dengan dilandasi ketiga sifat dasar bahasa manusia di atas lalu muncul beragam bahasa baru. Dengan adanya bahasa standar, kreativias penciptaan bahasa baru dapat terkendali. Artinya, meskipun dalam bahasa itu muncul berbagai varian karena faktor historis, politis, sosial, temporal, dan spasial di atas masih dapat dilacak keterhubungannya pada bahasa baku. Sebagai contoh, bahasa prokem atau bahasa gaul yang sering dirisaukan akan menggilas bahasa Indonesia, seperti bahasa gaul para remaja di Malang, yang dikenal bahasa walikan. Kosakata yang mereka munculkan itu adalah kosakata bahasa Indonesia baku yang dibalik, misalnya “ibu” menjadi “ubi,” “datang” menjadi “ngatad” dll. Contoh lain, dulu saat saya masih remaja ada model bahasa prokem yang dikembangkan dari kosakata bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/sistem penambahan konsonan /d/ dengan vokal yang sama pada setiap suku kata dalam kata itu, misalnya kata “makan” akan menjadi: “madakadan” (kata makan dipilah dulu atas sukukata: ma-kan lalu diberi konsonan /d/ dengan vokal yang sama dengan vokal suku katanya: ma > mada, kan >kadan; contoh lain kata “itu” ( i-tu: idi-tudu> iditudu). Artinya, anak-anak remaja yang ingin tampil beda sebagai sebuah kelompok sosial baru mencoba menciptakan ciri pembeda melalui bahasa dengan menginovasi sumber daya kebahasaan yang sudah ada.
Lalu apa hubungannya bahasa baku dengan menjaga keutuhan komunitas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa merupakan lambang identitas, jati diri. Bahasa menyatukan komunitas penuturnya secara internal dan membedakan komunitasnya dengan komunitas lain secara eksternal. Itu sebabnya, jangan heran mengapa keteraturan perubahan bunyi pada bahasa Jerman Tinggi dan Jerman Rendah, yang garis batasnya berada di Sungai Rhen (Rhenishfan) tidak ditemukan secara teratur, berubah-ubah sesuai pengaruh kekuasaan kaisar yang silih berganti. Hal ini menggambarkan adanya faktor kekuasaan yang mempengaruhi batas negara dan batas bahasa. Begitu pula, mengapa di wilayah bagian barat bahasa Sumbawa memiliki variasi dialektal yang cukup tinggi, sementara di bagian timur tidak demikian. Hal itu sangat dipengaruhi oleh banyaknya kerajaan kecil (kedatuan) di wilayah tersebut. Garis pemisah antarwilayah pakai dialek mencerminkan garis pemisah antarkedatuan. Rupanya setiap kerajaan kecil/kedatuan ingin memperlihatkan eksistensinya dengan menggunakan bahasa sebagai pembeda. Pembedaannya, lebih dominan pada pembedaan fonologi, misal: bedus menjadi bedes, bedis yang bermakna kambing. Demikian halnya mengapa bahasa Jawa dialek Solo-Yogya berterima menjadi bahasa Jawa baku, tentu tidak lepas dari besarnya pengaruh kerajaan Mataram.
Apa yang ingin dikatakan bahwa, keberadaan bahasa Indonesia baku dengan berpedoman pada penggunaan bahasa yang terkodifikasi dalam bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia merupakan salah satu wujud kita ingin mempertahankan keutuhan Indonesia, karena bahasa baku akan mampu menahan laju pertumbuhan bahasa baru yang boleh jadi dibentuk karena faktor identitas secara politis.
Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikutip pernyataan Lee Kuan Yew, dalam bukunya: “One Man’s View of the World” (2013) yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah diwariskan oleh para pendiri bangsa sebuah warisan yang tak ternilai, yaitu bahasa persatuan Indonesia. Warisan yang tak ternilai inilah yang telah menepis ramalan terjadinya balkanisasi bangsa Indonesia saat krisis 1998.
Untuk mengakhiri uraian tentang persoalan penyematan makna baru pada kata “mudik” dan frase “pulang kampung” saya ingin mengambil ungkapan yang menjadi anak judul tulisan ini: Setali Tiga Uang”. Ungkapan itu berawal dari kondisi sebelum terjadinya perubahan nominal uang rupiah awal 1966, di Indonesia telah beredar mata uang yang sangat bervariasi, meskipun yang mendominasi adalah pecahan uang logam. Saat itu, nilai nominal terendah di bawah rupiah dikenal dengan istilah sen, sehingga ada uang yang bernilai nominal 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen.
Pada tahun 1950-an diperkenalkan satu istilah yang menunjukkan nilai nominal mata uang 3/4 rupiah atau sama dengan 75 sen yang disebut dengan nama “Setali”. Uang yang “setali” itu jika ditukar dengan uang yang nilai nominalnya 25 sen maka akan diperoleh uang logam sejumlah 3 buah.
Dari sini, mungkin untuk memperkenalkan makna kata “setali,” muncullah istilah “setali tiga uang” (satu uang setali nilainya sama dengan tiga uang logam yang bernilai nominal 25 sen).
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui pola berpikir analogis, dari situ muncullah ungkapan baru “Setali Tiga Uang,” yang digunakan untuk merujuk ekspresi verbalnya “boleh berbeda, tetapi substansi maknawinya sama.”
Dengan memanfaatkan ungkapan yang turut memperkaya daya ungkap bahasa Indonesia itu, ingin ditegaskan bahwa kata “mudik” dalam bahasa indonesia adalah setali tiga uang dengan “pulang kampung”.
Adalah sia-sia akan berupaya membedakan kedua bentuk ekpresi itu, karena keduanya telah terkodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai bentuk yang bersinonim. Menkreasi/mengubah bentuk, termasuk maknanya, yang sudah terkodifikasi sebagai kaidah yang harus diikuti untuk berprilaku (verbal atau nonverbal) yang baik dan benar “setali tiga uang” dengan perilaku kita yang inkonsisten dalam membangun kehidupan yang tertib dalam berprilaku, baik verbal maupun nonverbal dengan mengikuti aturan yang sudah disepakati sebelumnya.
Semoga kita menjadi anak bangsa yang senantiasa amanah dalam mengemban cita-cita para Pendiri Bangsa. [**]