Assalamu alaikum wr wb
Kepada Yth
Para Relawan dan Teman Seperjuangan
Di Jakarta
Pagi ini di Tanah Merah, Jakarta Utara, hadir sebagai inspektur upacara. Rakyat kebanyakan yang berkumpul untuk memperingati kemerdekaan bangsa kita. Mayoritas hadirin dan peserta upacara bukanlah warga makmur dan sejahtera. Mereka masih hidup amat sederhana, tabungan rupiah mereka mungkin tipis tapi tabungan kecintaan pada Republik ini amatlah tebal.
Pagi tadi, seperti biasa bendera merah putih itu dikibartinggikan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran tenaga, darah, bahkan nyawa, hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.
Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada kakek kami, Alm. A.R. Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar bangsa ini merdeka dan Republik ini berdiri.
Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan.
Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.
Suatu ketika, beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskan sms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku, yang telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain‘ apa.”
Kini, saat ada panggilan untuk ikut mengurusi negeri ini, kota ini, maka haruskah kita menghindar sambil berkata, “Mohon maaf kami ingin di zona nyaman, kami ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan?”
Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang benderang; di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang keluarga, melipat tanah rakyat jadi pencakar langit, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, di Ibukota sekalipun, begitu banyak anak kita tak tuntas belajar. Sebuah “jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan.
Pantaskah kita berkata pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut mengurus negara, propinsi, kota atau kabupaten karena politik belum bersih, karena pemerintahan belum bersih?
Haruskah kita menunggu semua beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Kita telah pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi kita pilihannya jelas, mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Kita pilih yang kedua, kita pilih menyalakan cahaya. Kita pilih turun tangan. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa difitnah, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.
Tapi sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan.
Kita bicara soal potret ketidakadilan sosial di ibukota dan soal tanggung jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah di bangsa ini. Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan.
Tanggung jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak akan menulis soal pilihan ini.
Tugas kita kini adalah memastikan bahwa dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di pinggir-pinggir pantai yang gersang dan panas, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.
Mari kita tegaskan bahwa kita tidak bawa cita-cita, kita mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan setiap kala dan sepanjang hayat. Semangat dan misi kita adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap janji Kemerdekaan. Janji yang diabadikan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.
Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap berbuat maka perubahan akan bergulir.
Mari kita terus berkarya; mulai dari niat yang lurus, diwujudkan dalam gagasan yang jernih dan benar, diungkapkan dengan kata-kata yang menggerakkan dan menggugah, lalu dilaksanakan lewat kerja serius hingga tuntas.
Selamat Hari Kemerdekaan, Dirgahayu Republik Indonesia!!
Jakarta, 17 Agustus 2017
Salam,
Anies Baswedan