Pengakuan Mengejutkan Kapolri Soal Penyiksaan Hanyalah Pucuk Gunung Es di Permukaan

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Konfirmasi penggunaan penyiksaan oleh aparat keamanan lewat pernyataan Kapolri merupakan sebuah arah balik yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah lebih dari satu dekade penyangkalan yang gigih akan praktik ini, menurut Amnesty International hari ini.

Dalam sebuah pengakuan yang langka, Kapolri Jendral Badrodin Haiti mengkonfirmasi bahwa anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 anti-terorisme menendang terduga teroris di dadanya, mematahkan tulang rusuknya, dan mengenai jantungya hingga meninggal.

“Pengakuan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Jendral Badrodin Haiti merupakan arah balik penting di tengah-tengah penyangkalan publik yang terus terjadi bahwa penyiksaan bersifat meluas di Indonesia,” menurut Josef Benedict, Direktur Kampanye Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik.

“Untuk lebih dari satu dekade, kami telah mempublikasikan penggunaan penyiksaan yang mengerikan di negeri ini. Pengakuan ini memberikan secercah harapan bahwa kultur impunitas yang endemik yang menaungi polisi bisa mulai dibongkar. Sekarang, pemerintah harus membentuk sebuah penyelidikan yang independen dan tangguh untuk menentukan bagaimana meluasnya praktik semacam itu terjadi. Ada kebutuhan mendesak untuk adanya sebuah mekanisme akuntabilitas yang sudah terlambat sejak dulu dan undang-undang baru yang mempidanakan penggunaan penyiksaan.”

Jendral Badrodin Haiti membuat pengakuan di muka parlemen yang memanggilnya untuk mempertanggungjawabkan suatu fakta bahwa klaim awal polisi bahwa Siyono, seorang terduga teroris yang meninggal selama masa tahanan, meninggal karena suatu luka yang diterimannya saat berkelahi dengan polisi.

Amnesty International percaya bahwa terdapat banyak kasus di mana aparat polisi, termasuk unit Densus 88, harus diinvestigasi karena dugaan pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang telah mendorong akuntabilitas kepolisian, menyatakan pada bulan lalu bahwa paling sedikit ada 121 orang meninggal selama masa penahanan sejak 2007 dalam operasi anti-terorisme.

Tidak ada investigasi kredibel yang pernah dibuat, sementara kepolisian melindungi dirinya dengan janji-janji ilutif untuk menginvestigasi sendiri tuduhan-tuduhan tersebut. Praktik ini, yang menunjukan penghinaan besar terhadap hukum hak asasi manusia internasional, bisa saja diperbesar oleh suatu proposal revisi legislasi anti-terorisme yang draconian, yang mengizinkan polisi untuk menahan para tersangka hingga 390 hari tanpa diuji di suatu pengadilan.

Related Articles

Latest Articles