Transportasi Online dan Lemahnya Personal Security Konsumen

oleh: Ridwan Budiman

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Perkembangan e-commerce termasuk di dalamnya transportasi online marak mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.

Jelas saja, tren yang telah muncul sejak sekitar tahun 2010 itu, memudahkan masyarakat dalam segala hal. Mulai dari antar-jemput (motor atau mobil), pesan makanan, layanan pijat, antar barang, hingga membersihkan rumah.
Tingginya animo masyarakat ini, berkorelasi positif dengan nilai perusahaan yang terus meningkat. Menurut Wall Street Journal, valuasi saham Gojek dan Grab masing-masing 20 dan 17 triliun rupiah. Bandingkan, dengan transportasi konvensional seperti Bluebird yang hanya 9,8 triliun rupiah.

Bahkan, valuasi saham perusahaan yang didirikan oleh Nadiem Makarim ini lebih bernilai daripada maskapai penerbangan milik negeri sekelas Garuda Indonesia. Data dari TechCrunch menyebutkan dampak dari adanya suntikan dana investasi sebesar Rp 7,2 triliun, mengakibatkan naiknya nilai perusahaan menjadi $1,3 miliar atau setara dengan Rp 17 triliun.

Garuda Indonesia jauh di bawah Gojek. Maskapai plat merah itu hingga Juni 2016 hanya dihargai sebesar Rp 12,3 triliun. Padahal, Garuda Indonesia setiap harinya mengoperasikan 197 pesawat dan menguasai 40,5 persen pasar penerbangan domestik. Jika dihitung dalam biaya operasional, aset ini memiliki perawatan yang cukup tinggi dan karena itu memiliki nilai valuasi yang tidak terlalu tinggi.

Sedangkan Gojek, sama sekali tidak memiliki aset. Dirinya hanya bermitra dengan sekitar 200 ribu pengemudi yang tersebar di Jakarta, Yogya, Bandung, Surabaya, hingga Bali. Bahkan, Nadiem mengklaim, perusahaan pendukung utama Liga Utama PSSI ini telah diunduh sebanyak 10 juta kali dan tiap detiknya mampu memproses 8 pemesan.

BACA JUGA  Arogan, Rugikan Rakyat Kecil dan Melanggar, Mandat Ahok Bakal Dicabut?

“Ada lebih dari 20 juta pemesanan pada platform kami pada bulan Juni 2016, yang berarti bahwa kami memproses sekitar delapan pemesanan per detik bulan lalu, ” kata menejemen Go-Jek seperti dikutip dari Tech In Asia, 16 Juli 2016.

Angka ini terus bertambah. Dikutip dari laman Tirto.id, per April tahun ini Gojek telah memiliki mitra sebanyak 250 ribu dan telah diunduh oleh 25 juta pengguna di tanah air.

Keamanan Data Pribadi? Tidak Jamin

Meskipun demikian, aplikasi ini bukan tidak memiliki kekurangan. Di tengah segala fasilitas tersebut, perusahaan dan manajemen memiliki setiap detil data konsumen. Mulai dari nomor telepon, rute perjalanan, setiap barang yang kita pesan, laman web yang pernah dikunjungi hingga geo location dimana kita berada bahkan tanpa dalam saat kita dalam kondisi memesan layanan sekalipun. Hal tersebut disimpan dalam sistem bernama Big Data yang bersifat personal.

“Ketika anda menggunakan Aplikasi kami, kami juga akan memproses data teknis anda seperti alamat IP, Identitas (ID) Perangkat atau alamat MAC, dan informasi mengenai pabrikan, model, dan sistem operasi dari perangkat bergerak/mobile device anda. Kami menggunakan data ini untuk memungkinkan kami untuk mengirimkan fungsi-fungsi dari Aplikasi, menyelesaikan kesulitan-kesulitan teknis, menyediakan bagi anda versi Aplikasi yang benar dan terkini dan untuk meningkatkan fungsi Aplikasi,” tulis ketentuan yang ada dalam laman Go-Jek.

Tidak sampai di situ, saat kita menggunakan layanan Top Up dalam aplikasi Gojek, perusahaan ini akan mengetahui informasi seperti nama bank, dimana kita membuka rekening, hingga nama pemilik rekening.

BACA JUGA  Banjir di Mangga Dua Setinggi 30 cm, Kompas Menulisnya dengan "Genangan"

Gojek pun dalam laman ‘privacy-policies’nya menerangkan, bahwa informasi yang kita miliki dapat dialihkan, disimpan, digunakan, dan diproses di suatu yurisdiksi selain Indonesia dimana server transportasi online tersebut berada.

Firdaus Cahyadi dari Satu Dunia menilai Gojek dan transportasi online lainnya tidak begitu tegas soal menjaga rahasia data pribadi setiap konsumen. Baik yang dimiliki oleh perusahaan maupun dimiliki oleh para pengemudi. Pengemudi dapat berhubungan langsung dengan pengguna dengan menyimpan nomor telepon.

“Kepemilikan no HP itu memang memudahkan komunikasi antara keduanya. Tetapi, di sisi lain, ia bisa saja disalahgunakan oleh kedua belah pihak, baik pengguna maupun driver. Tak sedikit kasus teror yang dihadapi pengguna aplikasi karena memberi peringkat buruk kepada driver,” jelas Firdaus sebagaimana dikutip dari laman Tirto.

Dengan belum disahkannya, RUU tentang Perlindungan Data Pribadi, maka 25 juta pengguna di tanah air, termasuk kita yang menggunakan aplikasi ini, bukan tidak mungkin data pribadi kita akan berada dimana-mana, baik dalam bentuk dijual, disewakan, disalahgunakan, bahkan dialihkan ke negara luar.

Pemerintah, melalui Kemenkominfo pun, tampak diam diri. Pemerintah tidak kunjung merumuskan dan memasukan RUU tersebut ke DPR meskipun telah masuk dalam Prolegnas Tahun 2015-2019.

Kini, data pribadi kita, bak bertebaran di dunia maya. Globalisasi membuka segalanya. Kata George Soros, inilah era dimana masyarakat terbuka seluas-luasnya. Open Society.

Related Articles

Latest Articles