Paket WTO Bali Menghambat Kedaulatan Pangan Nasional

Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun termasuk Indonesia. Dari datadari BPS Pada bulan Maret 2013 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37), berkurang sebesar 0,52 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar 28,59 juta orang (11,66 persen). Mengingat tingginya laju inflasi dan kebutuhan masyarakat di masa mendatang Pemerintah Harus Menaikkan Standard Garis Kemiskinan yang selama ini dinilai Terlalu Rendah yaitu sebesar Rp 230 ribu perbulan di perdesaan dan Rp 280 ribu perbulan di perkotaan. Salah satu usulan Fair adalah Garis Kemiskinan Asia Tengah sebesar 2,3 gr setara harga emas atau sekitar Rp 1,3 juta perbulan.

Disisi lain, Indonesia sebagai sebuah negara agraris seharusnya bisa menjadikan kedaulatan pangan sebagai factor penentu dan solusis trategis untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, tercapainya ketahanan dan kedaulatan pangan tidak hanya berimbas terhadap sector industry pangan dari hulu kehilir tapi juga berdampak secara langsung terhadap masyarakat miskin sebagai konsumen dari industry pangan itu sendiri. Karena selama ini Indonesia sudah menjadi importer besar aneka produk pangan seperti beras, jagung, kedelei, gula, daging sapi, gandum, garam dll.

Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa peranan komoditi pangan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan pangan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan komoditi pangan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 73,52 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2012 yang sebesar 73,50 persen . Dengan fakta tersebut, semakin memperjelas bahwa kedaulatan pangan berpotensi menjadi faktor penentu berkurangnya jumlah masyarakat miskin dan katalisator kesejahteraan masyarakat.
Menurut M.Rudi Wahyono (CIDES) Sebenarnya kinerja penuruan kemiskinan di Era SBY Budiono tidaklah terlalu mengesankan (2,5 %) masih kalah dibanding Era SBY JK kemiskinan turun 2,6 % sementara penurunan kemiskinan Tercepat di Era BJ Habibie sebesar 5,1 % hanya dalam tempo 2 tahun. Sebagai catatan Pada Era SBY Budiono Penambahan Hutang Pemerintah meningkat sebesar 231 % dibanding periode SBY JK, sehingga bisa disimpulkan bahwa Era ini merupakan Era Kinerja Pemerintah dan Birokrasi yang Tidak Efisien dan Sangat Boros.

BACA JUGA  Airlangga Hartato: Awal Agustus Diharapkan Keadaan Kembali Normal

Sebagai tambahan adalah Era SBY Budiono ditandai adanya kesenjangan pendapatan semakin Melebar dalam masyarakat ditunjukkan dengan meningkatnya angka Gini Ratio dari 0,33 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2012. Dari aspek Kemiskinan Absolut yang dirilis GHI peringkat Indonesia tahun 2013 Nyaris Naik Kelas namun masih berada pada Level Negara Dengan Index Kelaparan Serius seperti tahun 2011 dan 2012, serta tersalip oleh negara Vietnam yang berhasil menurunkan angka index kelaparan, angka kecukupan gizi dan berat badan Balita.

Terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali yang berhasil menyepakati Paket Bali harus ‘Diwaspadai dan Dipersiapkan’ karena terlanjur disepakati. Peterson Institute for International Economics memprediksi bahwa Paket WTO Bali bila diterapkan akan menghasilkan 1 Triliun USD Perdagangan dan menciptakan sekitar 21 juta lapangan kerja baru serta menghemat biaya perdagangan internasional sebesar 10–15 persen. Namun banyak pihak yang ragu perhitungan tsb termasuk beberapa negara Uni Eropa.

BACA JUGA  Pemimpin Permadani Bangsa, Belajar dari HAMKA

Dari sisi Kedaulan Pangan Nasional Paket Bali disinyalir akan semakin mempersulit tercapainya kedaulatan pangan dan tentunya akan berimbas pada semakin sulitnya menurunkan angka kemiskinan pada masa depan mengingat produk petani nasional harus kompetitif dari sisi harga dan kualitas dengan produk import yang semakin membanjir ke pasar domestic dimasa depan. Dalam Paket Bali tersebut disepakati bahwa subsidi pertanian di negara berkembang memang meningkat dari sebelumnya maksimal 10 persen dari output nasional, menjadi 15 persen. Hal ini tentu bisa merugikan negara-negara agraris seperti Indonesia dimana mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah pertanian. Pasalnya jika subisidi pertanian, maka banyak petani di Indonesia yang akan menjadi jatuh miskin. Hal ini mengingat, subsidi pertanian seperti subsisdi pupuk dan subsidi benih merupakan nilai tambah dari sector pertanian yang bisa dinikmati langsung oleh petani. Seperti dilaporkan oleh BPS bahwa angka Prosentase kemiskinan sebesar 60 % merupakan masyarakat rural (perdesaan) yang nota bene kebanyakan berprofesi sebagai petani dan buruh tani.

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles