Dunia Menuju Deglobalisasi ?

Oleh: Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan RI)

Kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di Amerika bisa jadi awal dari proses deglobalisasi ekonomi dunia yang dipelopori kedua negara kuat tersebut.

Meski dulu kedua negara ini juga, dalam kepemimpinan PM Margareth Thatcher dan Presiden Ronald Reagan, yang memelopori globalisasi.

Deglobalisasi bukan berarti meninggalkan sistem ekonomi pasar dengan kapitalismenya.

Perdana Menteri baru Inggris Theresa May dan Presiden baru Amerika Serikat Trump hanya ingin melepaskan negaranya dari ikatan atau kesepakatan-kesepakan global dalam bidang ekonomi, khususnya Perjanjian-perjanjian “free trade and free investment”, serta arus buruh dan imigran lintas negara, serta perlindungan lingkungan yang dirasakan merugikan kepentingan ekonomi nasionalnya dan mengurangi kebebasannya dalam mengatur ekonomi negerinya sendiri.

Amerika dan Inggris tiba-tiba menyadari bahwa globalisasi atau internasionalisasi ekonomi yang digelorakan selama 3 dekade ini ternyata mengurangi kedaulatannya sendiri dalam mengatur berbagai kebijakan nasionalnya terutama dalam bidang ekonomi.

Negara negara di Eropa misalnya, karena pembentukan Uni Eropa, telah melepaskan mata uang nasionalnya kecuali Inggris dan Swiss yang tetap mempertahankan mata uangnya sendiri.

Karena menjadi anggota UE kini masing-masing negeri anggotanya tidak bebas atau leluasa mengatur kebijakannya sendiri dalam bidang investasi, perburuhan, pengungsi, arus keluar masuk barang ke negerinya dll.

“Pertukaran kedaulatan” seperti ini tentu saja memberikan keuntungan dan kerugian yang berbeda beda bagi anggotanya.

Sementara itu karena globalisasi, instrumen-instrumen koreksi konvensional seperti tarif dan pelarangan atau pengaturan arus buruh asing sudah dihapuskan.

Padahal sistem tarif bea masuk sudah lazim digunakan sebagai koreksi atas perbedaan kekuatan antar negara (antar negara eksportir dan negara importir), atau dengan kata lain untuk melindungi produksi dalam negeri dari serbuan produk produk asing yang dapat mematikan produsen dalam negeri.

BACA JUGA  Partai Gelora: Bercocok Tanam Bukan Sekedar Hobi Tapi Peluang Bisnis

Prinsip utama yang terkandung dalam pengaturan ekonomi yang berasaskan perbedaan batas-batas negara (prinsip nasionalisme atau kebangsaan) adalah perlindungan terhadap produsen atau produksi dalam negeri.

Aliran ini berpendapat bahwa dalam jangka panjang negara produsen akan lebih kuat dan unggul atau memenangkan pertarungan global sebab lebih mandiri.

Dengan kata lain, membayar sedikit lebih mahal untuk produksi nasional (dalam negeri) itu lebih baik dari pada membeli murah produksi impor.

Orang Jepang misalnya, lebih suka membeli beras produksi petaninya sendiri meski jauh lebih mahal daripada beras impor.

Tapi rakyat Jepang menyadari pentingnya mandiri beras daripada sekedar dijadikan pasar produk bangsa lain yang sewaktu waktu bisa saja mengembargo atau gangguan lainnya.

Tegasnya, salah satu perbedaan penting antara pengaturan ekonomi atas dasar pengakuan batas- batas negara (nasional) dengan sistem global (meniadakan batas negara) adalah tarif untuk melindungi produksi nasionalnya versus sistem global yang mengutamakan pokoknya murah demi keuntungan konsumen.

Pada sistem global yang secara ekonomis meniadakan batas batas negara dengan perbedaan-perbedaan yang melekat, tidak penting barang itu berasal dari produksi dalam negeri atau impor, yang penting murah dan konsumen “happy” atau diuntungkan.

Aturan dan perjanjian perjanjian yang dihasilkan dalam rangka implementasi globalisasi yang awalnya dipelopori Amerika dan Inggris itu kini dirasakan merugikan atau memukul ekonomi nasionalnya dan lebih menguntungkan China.

Kini Inggris dan Amerika cenderung ingin kembali ke ekonomi berdasarkan asas nasional dengan (meninggalkan mazhab globalisasi) karena lebih cocok dan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan ekonomi yang dihadapi negerinya.

BACA JUGA  Ahok Harus Bertanggung Jawab dan Buka-bukaan Terkait Kasus UPS

Tantangan-tantangan itu terutama adalah bagaimana negerinya mampu menjadi produsen demi pertumbuhan ekonomi yang mampu membuka lapangan kerja.

Buruh atau lapangan kerja dalam negeri harus dilindungi dari serbuan imigran dan buruh asing.

Di lain pihak, buruh yang dilindungi itu tidak diizinkan meminta kenaikan upah minimum agar bukan saja tidak memberatkan produsen tetapi juga tidak merangsang masuknya buruh murah.

Produsen di dalam negeri tidak boleh terhalang oleh perjanjian-perjanjian dalam rangka globalisasi baik “trade”, “investment”, perdagangan, lingkungan dll.

Dengan demikian serbuan barang impor yang menghantam industri lokal harus dibatasi melalui bea masuk yang mampu memberi perlindungan terhadap kelangsungan industri dalam negeri.

Inggris dan Amerika akan mencegah negerinya dijadikan pasar konsumen barang impor dengan dalih lebih murah.

Investasi di dalam negeri baik dari investor lokal maupun asing akan diutamakan.

Prinsipnya adalah kepentingan nasional akan didahulukan.

Semua perjanjian atau ikatan internasional yang merugikan ekonomi nasionalnya atau melemahkan kemandiriannya, akan dihapuskan.

Nampaknya Inggris dan Amerika percaya bahwa sistem ekonomi nasional suatu negara tidak bisa dipisahkan dengan sistem politik nasionalnya.

Sekurang-kurangnya sepanjang kesatuan atau sistem politik negara-negara itu masih berbeda beda, tidaklah mudah untuk menyatukan sistem ekonominya secara adil dan stabil.

Perbedaan itu memang sunnahtullah dan nyata.

Barangkali karena itulah maka Inggris dan Amerika kini kembali mengusung nasionalismenya masing-masing dengan membawa semangat kemandirian.

Sementara Indonesia kini menjadikan prinsip Trisakti Bung Karno atau swasembada pangan Pak Harto hanya slogan slogan kampanye politik.⁠⁠⁠⁠

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles