Sadar Bahaya Prostitusi, Identitas Pelanggan PSK Dipublikasikan Biar Jera

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Ada baiknya, Indonesia berkaca ke beberapa negara Eropa yang diidentikkan sebagai negera bebas dan liberal, tetapi punya semangat dan kesadaran akan bahaya prostitusi terutama bagi generasi mudanya. Negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, Islandia, Skotlandia, dan Perancis punya Undang-Undang Anti Prostitusi yang sangat tegas. Bahkan di Swedia, lelaki hidung belang atau pelanggan pekerja seks komersial (PSK) yang tertangkap tangan oleh polisi, identitasnya akan dipublikasikan ke media massa biar jera atau kapok.

“Di Swedia itu, pelanggan PSK benar-benar dibuat jera karena jika ketangkap identitasnya akan dipublikasikan ke media massa. Tidak pandang bulu, termasuk saat sejumlah hakim Swedia tertangkap basah dalam skandal prostitusi pada tahun 2005. Jadi selain harus membayar denda yang cukup besar atau penjara enam bulan, mereka juga dipermalukan di tengah masyarakat,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, di Jakarta (20/05).

Fahira mengatakan, Swedia bisa jadi referensi yang ideal bagi Indonesia untuk menanggulangi prostitusi yang saat ini begitu marak terjadi. Sejak UU Anti Prostitusi diberlakukan pada 1999, terjadi penurunan siginifikan praktik prostitusi di Swedia. Laporan pemerintah Swedia memperkirakan jumlah total pekerja seks di negara ini turun dari 3.000 orang pada pertengahan 1990-an menjadi sekitar 600 orang dalam beberapa tahun terakhir ini. Selain itu, lokalisasi-lokalisasi yang dulu ramai, sejak UU ini diterapkan sama sekali tidak ada aktivitas.

BACA JUGA  Wakil Ketua DPD RI Minta Masyarakat Tidak Terprovokasi Terkait Pernyataan Ustad Khalid Basamalah

Padahal, kata Fahira, ketika pertama kali UU ini disahkan, publik Swedia menganggapnya tidak masuk akal. Namun terbukti, aturan ini telah mengurangi praktik prostitusi dan mengubah sikap publik terhadap perdagangan seks. Bahkan, keberhasilan Swedia ini juga diadopsi Finlandia, Norwegia, Islandia, Skotlandia, dan terakhir Perancis.

“Di Swedia itu, PSK itu dianggap korban, makanya UU tidak menghukum mereka, tetapi yang dihukum lelaki hidung belangnya. Bagi mereka, prostitusi itu bentuk kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Menariknya, UU Anti Prostitusi Swedia juga menyediakan dana pelayanan sosial untuk membantu PSK yang ingin pensiun,” ungkap Senator Asal Jakarta ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Fahira, sudah hampir 70 tahun merdeka, hukum di Indonesia sama sekali belum manganggap prostitusi sebagai hal serius. Hukuman bagi pelaku prostitusi bahkan lebih ringan dari pencuri ternak. Dalam Pasal 296 dan 506 KUHP, hukuman maksimal bagi mucikari dan germo, cuma setahun empat bulan dan denda hanya lima belas ribu rupiah.

BACA JUGA  DPD Disarankan Bentuk Tim Khusus Awasi Perbatasan

“Menurut saya ‘kriminalisasi prostitusi’ adalah cara terbaik untuk menanggulangi maraknya prostitusi. Mulai sekarang, kita harus menganggap prostitusi dari sudut pandang kekerasan terhadap perempuan dan praktik perbudakan. Saya berani mengatakan, sembilan dari 10 PSK di Indonesia adalah korban perdagangan manusia,” tukas Fahira.

Sudah saatnya, Pemerintah dan DPR merumuskan sebuah RUU Anti Prostitusi dengan tekanan hukuman kepada germo, mucikari, dan pelanggan PSK serta hukuman lain yang memberikan efek jera dan malu. Sementara PSK, idealnya dipandang sebagai korban. Swedia atau Perancis bisa dijadikan rujukan dalam menyusun RUU ini.

“Menurut saya, untuk efek jera, perlu juga hukuman sosial di mana pelanggan yang tertangkap, identitasnya dipublikasikan. Untuk denda juga perlu ada efek jera. Bisa dibuat ketentuan denda yang terus berlipat bagi pelanggan PSK yang tertangkap beberapa kali. Jadi misalnya, saat pertama ditangkap denda 25 juta, tertangkap kedua 50 juta, demikian seterusnya. Jadi memang tekanannya kepada efek jera. Perlu juga dipikirkan program buat PSK-PSK yang ingin keluar dan memulai hidup baru,” tutup Ketua Yayasan Abadi (Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri) ini.

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles