Penggunaan Senjata Bagi Penghina Presiden, Pengamat: Lebih Bahaya dari Era Soeharto

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pernyataan Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono, yang mengatakan bahwa penggunaan senjata diperbolehkan jika pasal Penghinaan Presiden tidak dihidupkan, menuai kecaman dari pengamat politik, Ahmad Yazid.

Menurutnya, pernyataan orang terdekat Jokowi tersebut, bisa merusak demokrasi. Terlebih, hal tersebut bahkan lebih berbahaya dibandingkan era Presiden Soeharto.

“Hendropriyono yang mengatakan, menggunakan senjata bila tidak ada hukum terkait penghinaan presiden. Itu artinya Hendropriyono sudah merusak demokrasi,” ungkap Yazbi, Sabtu (8/8).

“Kalau sudah main tembak, ini sangat berbahaya. Ini lebih berbahaya daripada di era Soeharto,” ujar Yazid.

Yazid bahkan menilai bahwa relawan Jokowi akan menggunakan “pasal karet” tersebut untuk menjatuhkan pihak-pihak yang dianggap posisi. Sehingga, konflik horizontal pun tak akan terhindari “Yang terjadi justru perang saudara. Ini harus diantisipasi,” jelas Yazid.

BACA JUGA  Hendropriyono Mulai Bersuara Soal Ancaman Krisis Ekonomi Indonesia

Sebelumnya, dalam laman Gatra (7/8), disebutkan bahwa jika pasal Penghinaan Presiden sebagaimana termuat dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP tidak diterima oleh DPR untuk disahkan sebagai UU, maka disahkan untuk menggunakan senjata (represif).

“Siapa saja kalau dihina, hukum tidak tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero yang bilang begitu. Hukum harus bisa menyelesaikan itu,” jelasnya di Mabes Polri, Jumat (7/8).

Doktor Filsafat UGM tersebut menjelaskan bahwa Presiden, termasuk Jokowi, tidak layak untuk dihina, “Masa dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina,” tegasnya.

Untuk diketahui, pemerintah mengajukan 786 pasal di RUU KUHP kepada DPR. Termasuk pasal yang mengatur hukuman untuk penghinaan presiden dan wakil presiden. Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.

BACA JUGA  PAHAM: Kebijakan Dana Ketahanan Energi Bertentangan dengan Konstitusi

Hal ini dipertegas lagi pada pasal 264, yang berbunyi, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Sebelumnya, pada 2006 pasal ini sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles