Ada ‘Kelas’ Khusus di Sekolah?

Ahmad Apriyanto | SuaraJakarta.com

ZAMAN sekarang, tak asing lagi saat telinga kita mendengar kata “kelas regular” dan “kelas khusus” di sekolah-sekolah. Baik SMP maupun SMA dan yang sederajad, di sekolah negri ataupun swasta, dan tak lepas dari predikat RSBI ataupun non-RSBi. Tidak hanya di Jakarta saja, di kota-kota lain pun banyak yang telah menerapkan sistem kelas tersebut dengan tujuan titik awal pembaharuan sistem pendidikan seperti di Bekasi, Bandung, Jogja, dan kota-kota besar lainnya. Lalu apakah sistem tersebut sudah cukup efektif? Apa sajakah yang membedakan kelas khusus dan reguler? Bagaimana pencapaian belajar di masing-masing kelas? Perlu peninjauan ulang yang mendalam mengenai pembentukan kelas seperti ini.

Kelas khusus di suatu sekolah tidak selalu sama dengan sekolah lain. Hal-hal yang membedakan dapat berupa proses pemilihan siswa, fasilitas yang disediakan, biaya administrasi, dan lain-lain. Ada sekolah yang menggunakan cara test khusus, sehingga siswa yang mengikuti tes dengan sistem penilaiaan khusus dan berhasil mencapai nilai standar yang telah ditetapkan, akan dapat menghuni kelas tersebut. Namun, ada pula sekolah yang pemilihan kelas khususnya berdasarkan nilai rapot, sehingga siswa-siswi yang berada dikelas tersebut adalah mereka yang memiliki nilai rapot yang memenuhi standar penilaian. Tentunya masih banyak cara yang dilakukan sekolah agar seorang siswa dapat menghuni kelas semacam itu.

Fasilitas-fasilitas kelas khusus antar satu sekolah pun berbeda, tergantung dari kebijakan sekolah masing-masing. Ada sekolah yang ruang kelas untuk kelas khususnya dilengkapi dengan berbagai tekhnologi seperti AC, LCD/Proyektor, seperangkat komputer, ruang kelas yang tertutup, dll. Selain itu, penataan suasana belajar dan te naga pengajarsering dijadikan suatu hal pembeda antara kedua kelas tersebut.

Namun, ada pula sekolah yang menyamakan fasilitas untuk kelas khusus dan kelas reguler. Seperti di salah satu SMP Negeri di Bekasi, sekolah ini pernah membentuk kelas khusus yang fasilitasnya tidak ada perbedaan dengan kelas reguler. Yang membedakan hanyalah penyaringan siswa-siswi kelas khusus tersebut dipilih berdasarkan nilai raport yang diranking secara paralel tanpa ada test khusus.

BACA JUGA  Score Oriented? Haruskah?

Sangat beragam dalam mengartikan kelas khusus. Ada sekolah yang mendefinisikanan kelas khusus sebagai kelas internasional yaitu kelas yang dalam pengajarannya menggunakan 2 bahasa (bilingual). Seperti yang ada di salah satu SMP Negeri di Jakarta Selatan, siswa-siswi kelas bilingual ini mendapatkan pembelajaran dwi-bahasa dalam matapelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA oleh guru yang memang khusus dipersiapkan oleh sekolah. Guru-guru tersebut biasanya berasal dari luar Indonesia karena di Indonesia sendiri masih cukup sulit untuk mendapatkan guru yang kompeten dalam mengajarkan matapelajaran secara dwi-bahasa.

Namanya saja sudah khusus, jadi wajar jika mereka mendapatkan perlakuan lebih dari yang reguler, karena mereka pun menanggung konsekuensi tersendiri seperti membayar dana Sumbangan Awal Tahun lebih mahal dan juga SPP bulanan. Selain itu kelas khusus juga menanggung beban mental yang lebih, karena mereka untuk berprestasi lebih daripada siswa reguler. Mereka juga diharapkan dapat melanjutkan ke PTN ataupun SMA Negeri favorit, serta diharapkan dapat lulus UN dengan nilai yang lebih baik. Jika siswa-siswi tersebut gagal dari apa yang telah diharapkan sekolah, hal ini dapat menurunkan self-esteem bahkan dapat menyebabkan depresi.

Lalu, bagaimana kah tanggapan siswa terhadap keberadaan kelas khusus tersebut? “Menurut saya sih adanya kelas khusus itu cukup efektif karena kita jadi bisa milih mau masuk kelas mana. Kalau kita mampu dan mau bayar SPP bulanannya lebih mahal, ya kita bisa aja milih kelas khusus. Tapi kalau kita tidak mampu atau lebih milih yang lebih murah kita bisa pilih kelas reguler. Menurut saya sih cukup adil kok.” ujar salah seorang siswa SMPN di Jakarta Selatan yang berhasil saya wawancarai saat saya mengadakan observasi disana.

Yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah seluruh siswa-siswi kelas khusus tersebut adalah murid yang berkompetensi?” Sistem penyaringan secara test khusus ataupun nilai raport pun belum 100% efektif karena banyak siswa-siswi yang kurang kompeten namun berhasil menghuni kelas khusus karena berbagai faktor. Mungkin faktor keberuntungan dalam menjawab soal-soal test khusus tersebut, atau standar nilai rapot yang sengaja dibuat demi mengisi kuota kursi kelas khusus. Faktor lainnya adalah financial, banyak murid yang dapat menghuni kelas khusus tersebut karena keadaan ekonomi mereka yang berada diatas rata-rata. Kembali lagi itu adalah kebijakan dari masing-masing sekolah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

BACA JUGA  Menghidupkan Kembali Budaya Olahraga

Namun yang kerap jadi permasalahan yang saya temui adalah sikap atau kepribadian mereka yang berada dikelas khusus. Banyak dari mereka yang berada di kelas khusus menjadikan dirinya seorang yang merasa memiliki kemampuan lebih dibanding mereka yang berada di kelas reguler. Banyak murid dari kelas khusus  yang menganggap remeh kelas reguler hanya karena mereka menyandang “kelas khusus”. Bahkan kerap sekali kesombongan itu mereka tunjukkan secara langsung.

Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya perbandingan jumlah kelas khusus dan reguler di suatu sekolah. Mungkin saja jika kelas khusus lebih sedikit dibandingkan kelas reguler, mereka akan merasa sebagai kelas minoritas. Sehingga rasa sombong tersebut bisa saja tidak ada. Lain halnya dengan sekolah yang memiliki kelas khusus lebih banyak dibandingkan dengan kelas regulernya. Dengan massa yang lebih banyak, bisa saja mereka merasa sebagai kelas mayoritas dan dengan enaknya dapat menyombongkan diri terhadap kelas reguler sebagai minoritas. Lagi-lagi hal ini harus menjadi hal yang harus diperhatikan oleh para guru pengajar.

Begitulah cuplikan fenomena pendidikan di Indonesia. Hal tersebut memang tidak terjadi di semua sekolah namun ada baiknya kita dapat belajar dari pengalaman orang lain karena seperti pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru yang paling bijak.” Ada sisi positif dari pembentukan kelas-kelas tersebut, ada pula sisi negatifnya. Yang dapat kita perbuat adalah memperbaiki segala sesuatu yang kurang baik untuk masa depan Indonesia. Jadi kelas yang seperti apakah yang anda “pilih” ?

*Mahasiswa Sampoerna School of Education

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles