Menjadi Saksi Ahli, Prof. Yusril Tantang MK Tak Sekadar Menjadi Mahkamah Kalkulator

SuaraJakarta.co, JAKARTA (15/8) – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang ketujuh perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang dimohonkan oleh Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan agenda pembuktian. Sidang kali ini menghadirkan beberapa ahli hukum tata negara dan politik untuk memberikan keterangannya terkait materi permohonan.

Pihak Pemohon menghadirkan Yusril Ihza Mahendra, Irman Putra Sidin, Margarito Kamis, Said Salahuddin, A. Rasyid Saleh, dan Marwah Daud Ibrahim. Sedangkan, pihak KPU, sebagai pihak Termohon, menghadirkan empat saksi ahli dan Pihak Terkait menghadirkan dua saksi ahli.

Salah satu saksi ahli dari Tim Pemohon, yaitu dari Tim Pembela Merah-Putih, Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan, MK harus memutus PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2014 secara adil dan bijaksana, agar presiden dan wakil presiden dapat memerintah dengan legitimasi dari rakyat.

BACA JUGA  MTSI Himbau Stasiun TV Dinginkan Suasana Saat Pencoblosan Pilpres

“Tanpa adanya legitimasi rakyat, maka pemerintahan selanjutnya akan akan berhadapan dengan krisis legitimasi yang juga akan memicu instabilitas politik nasional,” kata Yusril, saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang sengketa Pilpres 2014 di MK Jakarta, Jumat (15/8), sebagaimana disampaikan dalam rilis yang dikirimkan.

Untuk itu, Prof.tYusril Ihza Mahendra meminta majelis hakim memeriksa keterangan saksi secara detil dan mencermati bukti yang diajukan secara teliti dan bijaksana sebelum memberikan putusan.

Menurut Yusril, belajar dari pengalaman hakim MK di Thailand, sudah waktunya MK menangani sengketa Pemilu, khususnya Pilpres, di lingkup substansi yang memastikan prinsip Luber dan Jurdil telah dilaksanakan dengan baik serta memastikan legalitas Pemilu itu sendiri.

BACA JUGA  Bukan Lagi Ad Hoc, Bawaslu DKI Diminta Lebih Serius Awasi Aksi Curi Start Timses Kandidat

“Seperti misalnya MK di Thailand yang dapat menilai apakah Pemilu konstitusional atau tidak konstitusional. Apakah kita berani seperti Thailand membatalkan Pemilu karena dianggap cacat secara konstitusi? Apakah kita berani sejauh itu?,” tantang Yusril di depan 7 Hakim MK.

Lebih lanjut Yusril mengatakan, MK harus kembali ke khittahnya sebagai lembaga hukum tempat pencari keadilan, bukan lembaga hukum tempat kalkulasi suara.

“jika hanya mempermasalahkan penghitungan suara, MK akan menjadi lembaga kalkulator, karena yang dimasalahkan hanya berkaitan dengan penghitungan suara-angka belaka tanpa menilai apakah perolehan suara itu dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran sistematik, terstruktur, dan masif atau tidak”, Tegasnya dalam memberikan pandangan terkait banyaknya kecurangan yang terjadi pada pilpres kali ini. (ARB)

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles