Kasus Baiq Nuril: Potret Buram Penegakan Hukum

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kasus Baiq Nuril Maknun menjadi viral dan ramai diperbincangkan setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan kasasi menghukum 6 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah atas pelanggaran UU ITE. Keputusan tersebut mengusik rasa keadilan masyarakat. Betapa tidak, Baiq Nuril sesungguhnya merupakan korban pelecehan seksual yang semestinya mendapatkan keadilan hukum, justru harus menerima hukuman atas perbuatan yang dilakukan orang lain. Publik pun marah. Berbagai reaksi muncul, demonstrasi dan petisi yang mengecam keputusan itu dan menuntut agar Baiq Nuril dibebaskan. Tak sampai di situ, masyarakat pun menginisiasi bantuan lewat gerakan koin buat Baiq Nuril.

Baiq Nuril adalah mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, NTB. Kasus yang dihadapi berawal ketika dirinya merekam percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Nuril acapkali ditelepon oleh sang kepala sekolah menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan perempuan bukan istrinya. Guna melindungi diri dari kemungkinan tuduhan selingkuh dari suaminya dan pelecehan seksual lebih lanjut, Baiq Nuril lalu merekam pembicaraan tersebut. Rekaman suara tersebut lalu tersebar. Oleh kepala sekolah, Nuril dilaporkan ke polisi atas tuduhan menyebarkan konten bermuatan asusila. Nuril akhirnya diproses polisi dan ditahan sejak 27 Maret 2017 dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Nuril ditahan di tingkat penyidikan hingga persidangan.

Dalam persidangan di hadapan majelis hakim terungkap bahwa bukan Nuril yang menyebarkan rekaman itu tapi orang lain. Motif ibu tiga anak ini melakukan rekaman semata ingin membuktikan bahwa sang kepala sekolah telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya dan dilakukan lebih dari satu kali. Berbagai fakta terungkap ditambah penjelasan dari saksi ahli, akhirnya pada Juli 2017, Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Baiq Nuril. Majelis Hakim menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Namun jaksa penuntut umum tidak puas atas keputusan tersebut dan kemudian langsung mengajukan kasasi. Pada 9 November 2018, Nuril menerima petikan putusan yang hasilnya sangat mengejutkan dirinya, MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram dan menyatakan Ibu Nuril bersalah sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UU ITE 19/2016 dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Keputusan kejaksaan Mataram yang mengajukan kasasi kepada MA atas putusan bebas Baiq Nuril menimbulkan banyak pertanyaan tentang independesi dan profesionalitas jaksa. Semestinya putusan bebas itu tidak perlu banding berdasarkan Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa atau penuntut umum berhak minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Dari rumusan Pasal 67 KUHAP ini jelas bahwa, terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama, terdakwa atau penuntut umum tidak dapat minta banding.

BACA JUGA  Gubernur Lain di Nonaktifkan Ketika Menjadi Terdakwa, Kenapa Ahok Tidak?

Di sisi lain, hakim MA tidak cermat menangani kasus ini terkait penerapan UU ITE Pasal 27 ayat 1. Mestinya hakim menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Mataram yang membebaskan Baiq Nuril karena apa yang dialaminya merupakan bentuk kriminalisasi hukum. Menurut Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI, hakim tidak mencermati secara jelas unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut, dimana dalam pasal tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah orang yang menyebarluaskan. Sejak awal Nuril tak berniat menyebarluaskan rekaman telepon untuk mencemarkan nama baik kepala sekolah, tempat Nuril sebelumnya bekerja. Nuril merekam itu untuk menjadi bukit dirinya telah dilecehkan. Nuril melakukan itu untuk berjaga-jaga bila terjadi hal buruk di kemudian hari. Namun, majelis hakim tingkat kasasi justru memandang hal tersebut sebagai suatu tindakan pencemaran nama baik.

Selain itu, putusan MA tidak sesuai dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Berdasarkan aturan itu, dalam mengadili perempuan seharusnya hakim menyadari adanya ketimpangan sosial dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Hakim seharusnya dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya. Hakim harus bisa mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan yang dilakukan pelaku serta mempertimbangkan dampak kerugian yang dialami korban dari ketidakberdayaannya.

Hakim seharusnya cermat melihat status sosial antara kepala sekolah dan Baiq Nuril. Ini relasi kuasa atasan dan bawahan. Ketimpangan secara struktural itu membuat Nuril tidak berdaya melawan atasannya. Hakim Agung telah melakukan diskriminasi terhadap korban pelecehan seksual. Nuril seharusnnya ditempatkan sebagai korban yang harus dilindungi. Relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara itu seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara.

Kasus ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual selalu mengarah pada penyalagunaan kuasa di tempat kerja di mana seorang laki-laki yang memiliki posisi kuasa yang lebih tinggi memaksakan kehendaknya pada seorang perempuan yang posisi kuasanya lebih rendah atau merupakan bawahannya. Faktor relasi kuasa ini sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya pelecehan seksual. Perempuan yang dilecehkan merasa tidak nyaman dan marah kemudian melaporkan apa yang dialami kepada pihak kepolisian atau teman dekatnya. Ada yang tidak berani melaporkan karena takut dipecat atau mendapat sanksi dan juga merasa malu apa yang dialami diketahui banyak orang. Terakhir ini banyak tejadi di tempat kerja, apakah itu di kantor, di pabrik, dan perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/ART). Kasus pelecehan seksual yang dialami Nuril merupakan fenomena puncak gunung es, hanya penampakan kecil di atas permukaan dibanding sebenarnya di bawah permukaan yang tidak tampak dan jauh lebih besar dan banyak. Komnas perempuan mencatat pada 2015 ada 4000 kasus, sementara tahun 2017 terjadi 6400 kasus kekerasan seksual. Itu baru yang dilaporkan. Lebih banyak yang tidak dilaporkan.

BACA JUGA  Ahok Bilang Minum Alkohol Itu Tak Mematikan? Mungkin Belum Baca Artikel Ini

Sejatinya bagi Baiq Nuril bukan hukuman yang ia dapatkan, melainkan suatu penghargaan atas keberanian dan langkah yang dilakukannya membongkar perilaku asusila berupa pelecehan seksual yang dilakukan atasannya. Suatu langkah berani di tengah banyak kejadian serupa yang terjadi menimpa perempuan namun mereka mendiamkan karena takut diberi sanksi atau dipecat dan merasa malu apa yang dialami diketahui orang lain.

Baiq Nuril telah memberi contoh bagi perempuan yang dilecehkan secara seksual untuk berani mendobrak dan melawan hegemoni seksualitas laki-laki amoral. Siapapun laki-laki itu dan dalam kedudukan apapun dia. Maka dari itu pentingnya perempuan memiliki kesadaran gender, yakni kesadaran bahwa perempuan memiliki kedudukan, fungsi, atau peran yang setara (equal) dengan laki laki. Kesadaran ini penting dimiliki agar perempuan tidak merasa rendah diri (inferior), menganggap laki-laki superior dalam segala hal, selalu mengalah tunduk di hadapan laki-laki. Ketahuilah.. perempuan dan laki-laki itu setara di mata Tuhan.

Menyangkut hukuman terhadap Baiq Nuril, terlihat para hakim tidak sensitif gender dan tidak menggunakan perspektif gender, padahal Indonesia telah memiliki peraturan -seperti telah disebutkan di atas- untuk memastikan perempuan terlindungi dalam sistem peradilan. Namun pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum masih sangat lemah terbukti apa yang dialami Baiq Nuril. Kenyataan ini akan membuat para perempuan korban pelecehan seksual akan takut melaporkan kasusnya, alih-alih mereka mendapat keadilan justru malah mereka yang mendapatkan hukuman.

Pada titik itulah, hakim MA harus lebih peka terhadap aspek keadilan bagi perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual. Hakim harus memiliki perspektif gender yang luas dan tidak terpaku pada bunyi undang-undang semata. ”La bouche de la lois,” kata Montesquieu. Hakim MA harus memakai ‘indera keenamnya’ dalam memutus perkara. Mampu melihat dan menangkap nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat agar kemudian putusan-putusannya tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Terlebih saat ini kondisi banyak masyarakat tidak memercayai hukum dan aparat penegak hukum.

Betapa banyak penanganan kasus hukum yang mengecewakan. Profesionalitas dan independensi penegak hukum berada di titik nadir. MA adalah tonggak terakhir pencarian hukum di negeri ini, profesionalisme dan kepekaannya harus terus diasah agar mampu menghadirkan keadilan bagi pencari keadilan. Mengubah tangis menjadi senyum bagi mereka yang dizholimi. Mengubah senyum menjadi tangis bagi mereka yang zholim. Di sinilah arti penting hakim mengapa disebut sebagai “Wakil Tuhan di bumi”. Wallahu a’lam bishshawab.

*Andi Mapperumah ~ Pegiat Media Sosial

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles