Amnesty International Minta Presiden Jokowi untuk Hentikan Vonis Hukuman Mati

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Presiden Joko Widodo harus memanfaatkan kesempatan untuk menunjukan bahwa pemerintahannya memiliki tekad untuk membela hak asasi manusia (HAM) dengan menghentikan eksekusi mati kepada hingga 15 orang, menurut Amnesty International hari ini.

Para terpidana mati yang dipercaya akan segera dieksekusi mati telah divonis bersalah untuk kejahatan narkotika dan beberapa tidak mendapatkan proses peradilan yang adil. Kasus-kasus mereka, seperti juga dengan kasus-kasus lainnya yang dipantau Amnesty International, menunjukan cacat sistemik di dalam sistem hukum Indonesia.

“Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk menunjukan tekad yang benar dengan menghentikan eksekusi mati dan memerintahkan sebuah evaluasi independen terhadap semua kasus hukuman mati,” menurut Rafendi Djamin, Direktur Kantor Regional Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International.

“Tidak bisa diterima bagi suatu pemerintahan untuk mengeksekusi mati orang-orang, khususnya ketika mereka tidak mendapat proses peradilan yang adil dan divonis mati untuk kejahatan-kejahatan yang tidak masuk kategori ‘kejahatan paling serius’ yang merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum dan standar-standar internasional.”

Amnesty International menentang hukuman mati untuk semua kasus tanpa pengecualian, tanpa memandang sifat dan kondisi dari kejahatan tersebut; kebersalahan, ketidakbersalahan, atau karakter lain dari si pelaku; atau metode yang digunakan negara untuk melaksanakan eksekusi mati. Hukuman mati melanggar hak atas hidup dan merupakan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

BACA JUGA  Soal RUU Disabilitas, Presiden Jokowi Ditunggu Tanggapan Surat dari DPR

Eksekusi-eksekusi mati segera, yang dikhawatirkan akan terjadi dalam beberapa minggu ke depan, merupakan yang pertama di tahun ini. Pada 2015, Indonesia mengeksekusi mati 14 orang.

Riset Amnesty International mengungkapkan bahwa hukuman mati di Indonesia telah diterapkan dalam kasus-kasus yang melibatkan penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, pengabaian terhadap akses ke pengacara yang efektif, proses peradilan yang cacat, dan bahkan penggunaan hukuman mati kepada pelaku kejahatan anak atau orang yang memiliki gangguan mental atau intelektualitas.

“Dalam kasus-kasus yang kami teliti, polisi menyiksa atau melakukan perlakuan buruk lainnya kepada para tersangka dalam tahanan, termasuk mengambil ‘pengakuan’ dengan paksaan. Banyak yang tidak memiliki akses kepada seorang pengacara pada saat mereka ditangkap dan ditahan, dan pada proses hukum lainnya,” menurut Rafendi Djamin.

BACA JUGA  Beda Perlakuan Antara Ahok dengan Sanusi, Ada Apa dengan KPK?

Amnesty International juga mendokumentasikan lima kasus terpidana mati yang telah dieksekusi mati meskipun pengadilan Indonesia telah setuju untuk memeriksa keluhan mereka.

Dalam dua kasus lainnya, tidak ada penyelidikan untuk memeriksa usia pelaku kejahatan yang diduga belum dewasa atau orang yang memiliki gangguan mental dan intelektual. Dalam kondisi ini eksekusi mati adalah illegal.

Beberapa minggu setelah menjabat, Presiden Joko Widodo telah menyatakan menolak permintaan grasi dari para terpidana mati, dan mengutarakan bahwa hukuman mati menjadi efek jera – sebuah klaim yang tidak memiliki bukti. Namun demikian, ketika akan menjadi presiden pada 2014, Joko Widodo telah membuat komitmen-komitmen HAM yang menjanjikan.

“Ketika sebagian besar negara di dunia telah meninggalkan praktek yang keji ini, melakukan eksekusi mati akan menempatkan Indonesia di status yang terpencil,” menurut Rafendi Djamin.

“Presiden Joko Widodo masih memiliki waktu. Jika dia menghentikan eksekusi mati, mengubah hukuman kepada mereka, dan menerapkan moratorium eksekusi mati sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati, Indonesia bisa membangun kembali reputasi HAM-nya di kawasan Asia Tenggara.”

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles