Budaya Mengejek Anak Picu Kekerasan di Sekolah

Suarajakarta.co, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, pihak sekolah harus sigap mengantisipasi terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Hal ini menanggapi kasus kekerasan yang belum lama terjadi di salah satu sekolah dasar (SD) di Jakarta, yang menyebabkan kematian pada Jumat (18/9) lalu.

“Entah itu ejek-mengejek, bullying, perampasan, kekerasan ringan seperti dorong-mendorong, perkelahian, tawuran apalagi penganiayaan harus menjadi satu bagian yang sigap diantisipasi sekolah,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/9).

Ledia menambahkan, kejadian seperti itu pada umumnya dimulai dari hal kecil, berulang, dan terabaikan hingga menjadi sebuah letupan besar. Menurutnya, sangat patut guru, kepala sekolah hingga sistem belajar mengajar di sekolah tempat terjadinya kekerasan mendapat evaluasi. “Kita dihadapkan pada keprihatinan mendalam, sekaligus ini menjadi ujian bagi pihak orangtua, guru, dan penyidik untuk dapat bersikap adil dan bijaksana,” ujar Ledia.

BACA JUGA  Duh, Guruku Preman?

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (PA), lanjut Ledia, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dalam pengertian preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ini berarti lingkungan di sekitar anak termasuk orangtua, guru, sistem pendidikan, serta kebijakan negara harus mampu menyediakan kondisi perlindungan baik secara mental, spiritual, fisik anak, dan juga harus aktif dan menjadi satu kesatuan dalam melindungi anak.

“Meski bukan anak kita atau kerabat kita, misalnya, tapi menjadi kewajiban setiap orang untuk mau proaktif menyelamatkan anak bila melihat situasi yang membahayakan bagi anak. Ini tak boleh didiamkan,” tegas legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat I yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi itu.

Sementara itu, terkait pelaku kekerasan yang masih berstatus anak di bawah umur, Ledia mengingatkan, adanya perlindungan anak melalui mekanisme restoratif justice sesuai dengan UU Nomor 11/2012 tentang Sistem PA. Semangat restoratif justice ini, lanjut Ledia, adalah semangat untuk mempertimbangkan kepentingan masa depan anak. Sehingga, masih kata Ledia, sedapat mungkin dalam kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum diarahkan untuk mendapat bimbingan dengan dikembalikan pada orangtua daripada penghukuman semisal kurungan.

BACA JUGA  DPR Dukung Program Anies-Sandi Soal Cuti Ayah

Meski demikian, alumnus Master Psikologi dari Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, bahwa restoratif justice tidaklah berarti menafikan terjadinya kejadian kekerasan. Justru, ungkap Ledia, evaluasi, kajian dan bimbingan sangat dikuatkan agar terjadi proses pembinaan dan perbaikan. Menurut Ledia, pola hidup keseharian anak pelaku kekerasan patut mendapat evaluasi. “Kita perlu ingat bahwa bagaimana seorang anak itu bersikap dan bertindak akan berkesesuaian dengan serapan yang diperolehnya dari lingkungan sekitar. Ini jelas juga perlu dievaluasi,” pungkas Ledia.

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles