Ahok Pilih Independen, Tulus atau Karena Fulus?

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Meskipun Ahok telah menyatakan diri lebih memilih maju lewat jalur independen dengan berpasangan kepada Heru Budi Hartono, namun hal itu bukan berarti mantan Bupati Belitung Timur tersebut komitmen independen hingga pendaftaran Pilkada DKI 2017 resmi dibuka.

Bisa jadi, hal itu lantaran Ahok ingin meningkatkan bargaining yang tinggi kepada partai, khususnya kepada PDI Perjuangan, untuk lebih memerhatikan Ahok dibanding bakal kandidat yang akan diusungnya.

Dengan kata lain, bisa saja tarik ulur antara PDI Perjuangan dengan Ahok adalah bagian dari skenario politik untuk meningkatkan mahar politik (fulus) antara keduanya.

Tari ulur tersebut dapat terlihat dari pernyataan yang berubah-ubah di internal PDI Perjuangan terhadap kinerja Ahok.

Misalnya, Hendrawan Supratikno pada 9 Februari 2016 lalu mengatakan bahwa Ahok tidak ubahnya seperti Lee Kuan Yew yang ingin menyejajarkan Jakarta dengan Singapura dengan cara memberikan keteladanan kepemimpinan yang tegas dan bersih.

” Ini semua masih sejalan dengan ideologi dan jiwa kepemimpinan yang diusung oleh PDIP,” kata Hendrawan saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa 9 Februari lalu.

Bahkan, Wagub DKI Djarot Saiful Hidayat yang juga kader Banteng pun awalnya menegaskan hal yang sama.

BACA JUGA  Megawati Diharapkan Tidak Takut dengan Politik Sandera Ahok kepada Jokowi demi Pilkada DKI

“Pak Ahok itu dari dulu dekat dengan PDIP, kenal sudah lama. Dan mempunyai misi yang sama ya why not (diusung jadi Cagub DKI),” kata Djarot di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin 22 Februari.

Namun, kini menjelang dibukanya proses pendaftaran kandidat pada April 2016 mendatang, tiba-tiba PDI Perjuangan mengambil langkah mundur dan seolah menjadi pihak antagonis.

Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira yang menyesalkan desakan Ahok tersebut kepada Megawati untuk menunjuk dirinya sebagai Bacagub dari PDI Perjuangan.

Ahok mau menggandeng Djarot Saiful Hidayat menjadi cawagubnya, tetapi di sisi lain PDIP tak kunjung mengeluarkan rekomendasi karena mantan wali kota Blitar itu dimintai keluar dari partai.

“Tata krama dan etikanya di mana. Jadi kebalik-kebalik. Kesannya tidak paham prosedur. Jadi enggak simpatik kalau caranya seperti itu. Jangan hanya mencari keuntungan sendiri lah,” kata Pareira sebagaimana dikutip dari laman Merdeka, Selasa (8/3).

BACA JUGA  Sebut Warga Bantaran Sungai Penyebab Banjir, DPD Kecam Pejabat DKI

Pareira sendiri menegaskan, PDIP memiliki proses dan mekanisme soal Pilkada DKI Jakarta. Jika ada orang yang tertarik dan ingin mendapatkan rekomendasi dari PDIP, kata dia, tentunya harus mengikuti proses dan mekanisme yang ada.

“Nah kan dari awal PDIP partai ada mekanismenya. Kalau dia mau ikut PDIP, ikut lah alur permainan di partai. Kalau dia mau atur partai pasti enggak mungkin,” jelas Pareira.

“Kalau dia bicara pada Bu Mega orang yang konstitusionalis seperti itu bukan pada posisinya. Kan Ahok sudah memiliki KTP, kalau Ahok milih independen silakan. Kalau mau minta dukungan dia harus ikut dong aturan main,” tandasnya.

Kini, dengan kian dekatnya Pilgub DKI 2017 yang akan dihelat pada 2017 mendatang, beragam manuver politisi seolah menjadi hal yang legal, meskipun secara etika menjadi banal.

Semua hal bisa saja dilakukan, mulai dari strategi menarik calon independen, playing victim, hingga transaksi politik. Sebab, menurut Madzhab Machevialli-an menegaskan segala hal ‘dihalalkan’ untuk mencapai kekuasaan, entah dengan cara terhormat atau yang kurang bermartabat.

(iman)

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles