Kesehatan Jiwa Warga Jakarta Terancam?

SuaraJakarta.co, Jakarta – Mengarungi kehidupan kota besar seperti Jakarta memang harus memiliki mental yang kuat. Tekanan psikologis seperti tingginya biaya hidup, kemacetan dan kriminalitas selalu menghantui. Warga Jakarta juga diserang virus hedonisme, individualistik dan budaya westernisasi. Sebagai kawasan perkotaan, pasar swalayan dan mall dibangun megah seakan melukiskan keangkuhan pesona Jakarta sebagai ibukota negara.

Berbagai gejala sosial itu membuat masyarakat Jakarta layak waspada. Mereka diburu pola kehidupan serba material sehingga mengakibatkan sistem nilai sosial budaya menurun. Sesama masyarakat banyak tidak saling mengenal sehingga toleransi berkurang. Hidup terkadang dalam ketidakpastian akibat ketatnya persaingan antar sesama.

Melihat fenomena itu, warga Jakarta harus bisa melakukan adaptasi terhadap pola lingkungan dan beragamnya masyarakat Jakarta. Sebab sedikit saja pengabaian berpengaruh lintas sektoral. Kegagalan bergaul mengakibatkan tersisih secara ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Akibat lebih jauh, setiap ada kegiatan masyarakat dirinya tidak dianggap oleh masyarakat sekitar.

Selain persoalan itu, kegagalan adaptasi berdampak kepada kesehatan. Data Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan menyebutkan warga Jakarta rentan terkena sakit jiwa. Sampai sekarang terdapat 80% warga yang mengalami gangguan mental dan emosional.

Bentuk gangguan kesehatan jiwa bervariasi. Ada tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, kekerasan rumah tangga dan bunuh diri. Repotnya untuk kasus bunuh diri, Jakarta tergolong paling rawan. Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, tahun 2009 kejadian bunuh diri di Jakarta mencapai 165 kasus, sementara 2010 angka bunuh diri meningkat jadi 176 kasus. Itu berarti, hampir 2 hari sekali ada yang tewas bunuh diri.

Persoalan Kesehatan Jiwa Warga 

BACA JUGA  Rumah Anda Terendam Banjir? Ini Tips Membersihkannya

Persoalan kesehatan jiwa di Jakarta harus diakui sangat kompleks. Apalagi kemudian disadari kebijakan tata kota layak penduduk dan layanan kesehatan sering dilupakan. Pemerintah Daerah agaknya lupa menyembuhkan penyakit jiwa memerlukan waktu yang panjang. Sebab jika akar persoalan penyakit jiwa tidak diatasi, kesehatan warga Jakarta tidak akan tercapai.

Dalam konteks Jakarta, sepertinya pemerintah daerah DKI Jakarta belum serius mengantisipasi penderita penyakit jiwa. Sampai saat ini hanya terdapat 2 rumah sakit jiwa milik pemda DKI Jakarta serta beberapa klinik dan panti kesehatan milik swasta. Jumlah itu sangat jauh dari harapan, mengingat warga Jakarta mencapai 10.000 ribu orang. Seharusnya diperlukan 30.000 tempat tidur untuk layanan kesehatan jiwa. Saat ini baru sekitar 1.000 tempat tidur yang tersedia.

Masyarakat juga masih menghadapi persoalan minimnya akses informasi. kesehatan jiwa dan penanganannya. Akibatnya sebagian masyarakat masih memilih ke dukun atau ke orang pintar. Sebab bagi mereka penyakit jiwa seperti skizofrenia dan depresi yang disebabkan gangguan roh jahat. Hanya dukun dan “orang pintar” lah yang bisa mengusirnya. Mitos ini meski tidak dalam skala luas masih berkembang di masyarakat. Apalagi psikologis masyarakat Jakarta masih dominan menginginkan perhatian pemerintah daerah. Sayangnya penyediaan layanan kesehatan sendiri murah dan berkualitas sendiri masih jarang di Jakarta.

Kebijakan Kesehatan di Jakarta, Apa Kabar?

Masalah kesehatan jiwa adalah persoalan fundamental selain ekonomi dan pendidikan. Sebab semakin banyak warga yang sehat, perekonomian Jakarta dapat membaik dan berkembang pesat. Untuk itu, pemerintah daerah seharusnya mulai serius dan peduli atas kesehatan penduduk Jakarta. Ancaman sudah terbentang depan mata, jika dibiarkan berpotensi mengacaukan nilai kehidupan sehingga dimensi kehidupan bukan tidak mungkin dapat lumpuh total.

BACA JUGA  Proyek 6 Ruas Jalan Tol Dalam Kota, Solusi atau Masalah?

Melihat ini semua, masyarakat merindukan kota sehat jiwa. Kota yang tumbuh dengan memperhatikan kebutuhan warga. Bukan kota yang berkembang demi menuruti kemauan pengusaha. Proses itu dapat dijalankan melalui reformasi menyeluruh terhadap kebijakan kesehatan agar pro masyarakat. Menurut saya setidaknya ada tiga hal yang harus mendapatkan perhatian, yaitu :

Pertama, menambah jumlah rumah sakit. Penambahan diperlukan demi menunjang efektifitas pelayanan kesehatan. Bagaimana kesehatan dapat terjamin jika fasilitas kesehatan bersifat terbatas. Sedangkan, jumlah penderita akibat penanganan yang buruk dapat terus membengkak.

Kedua, memaksimalkan kinerja puskesmas sebagai garda terdepan institusi kesehatan milik pemerintah, Puskesmas harus berupaya menyediakan layanan psikiater dan memperluas sosialisasi kesehatan jiwa. Selama ini sudah menjadi rahasia umum, pelayanan puskesmas sangat terbatas.

Pendidikan kesehatan mendesak dilakukan sehingga masyarakat tersadarkan bahaya penyakit jiwa. Sosialisasi juga dimassifkan sehingga potensi dini adanya gangguan jiwa dapat terdeteksi. Untuk itu, pemerintah sudah waktunya terjun langsung ke lapangan. Bukan sibuk memikirkan perencanaan dan peraturan tapi “lembek” dalam impelementasi.

Ketiga, anggaran kesehatan yang efektif dan efisien. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah produk kesehatan hasil pembiayaan rakyat. Untuk itu, penggunaan APBD harus memperhatikan rakyat agar terberdayakan dan sejahtera. Sebab itu masalah kebocoran anggaran harus dapat diminimalisir. Potensi salah sasaran dalam implementasi lapangan juga pantas menjadi catatan kritis pengelolaan APBD.

Lalu kebijakan kesehatan di-Jakarta, apa kabar ya?

*) Penulis adalah Peneliti Institute For Reform Sustainable

Inggar Saputra
Author: Inggar Saputra

Related Articles

Latest Articles