Antara Turki dan Masjidil Haram

Malam itu seperti biasa, saya pandangi lagi buku tabungan haji untuk kesekian kalinya. Berkat aktivitas di bidang wirausaha dan koperasi, hanya dengan bermodal 5 juta saya bisa mendapat porsi haji dengan
subsidi dari sebuah bank syariah. Tapi tetap saja, masih lima tahun lagi saya baru bisa berangkat haji. Tepat saat itu usia saya akan genap 40 tahun.

Saya teringat pada Tante saya yang tutup usia beberapa waktu lalu. Jika beliau masih hidup, dua tahun lagi beliau akan berangkat haji. Beliau memang memilih haji plus yang masa penantiannya lebih pendek.
Namun umur memang rahasia Allah, penyakit diabetes, liver dan ginjal merenggut nyawanya. Beliau wafat di usia 52 tahun, dalam penantiannya untuk naik haji. Dan terbersit dalam pikiran saya: giliran saya tutup usia bisa kapan saja. Pfhhh… Ya Allah, ijinkan hambaMu ini memenuhi panggilanMu sebelum ajal menjemput, gumam saya dalam hati. Paling lambat usia 40 tahun saya harus sudah naik haji. Begitu terus setiap malam, setiap memandangi buku tabungan haji.
**

“Mohon doanya ya teman-teman, saya pekan depan berangkat umroh.” Salah seorang teman pengajian membuat pengumuman sore itu. Setitik rasa iri muncul dalam pikiran saya. Umroh? Mengapa aku tidak menabung buat
umroh saja? Tak perlu mengantri, tak perlu menunggu bertahun-tahun. Tapi tidak, usaha yang saya rintis masih perlu banyak back up modal. Namun rasanya saya harus berpacu dengan umur yang terus bertambah,
serta ajal yang sewaktu-waktu bisa datang. Saya ingin umroh segera!

Sabar Hana, lima tahun lagi kau akan naik haji, hibur saya pada diri sendiri. Semoga umur ini cukup panjang untuk bisa ke sana…

Kemudian, tiba-tiba sebuah BBM masuk.”Hana, terimakasih banyak ya bantuannya. Kalau ga ada loe, bisnis gue di Indonesia ga bakal beres,” Pesan dari Seto, sepupu saya rupanya. Saya memang membantu urusan
bisnisnya di Indonesia.

“Terimakasih kembali. Dengan senang hati kok membantunya.” respon saya.

“Gue harus bayar pake apa ya bantuan loe ini?”

“Ga usah dipikirin. Ini sudah jadi kebiasaan sesama saudara: saling bantu. Suatu saat mungkin loe yang bakal bantu gue. Masih di Turki loe?”

“Iya. Keren nih di sini..Cuaca Istanbul lagi enak banget, ga dingin banget, sebentar lagi summer. Indah lah pokoknya. Hana belum pernah ke Turki kan? Nah!!!… Loe urus visa gih, ke sini nyusul gue,” tulisnya spontan.

BACA JUGA  Demi Menghilangkan Rasa Malu

Turki? Seru juga nih. “Gue bayar semua akomodasi loe ke sini, as a gift for your help,” bujuknya kemudian.

Turki? Menarik! Hanya seribu kilometer lebih dari Mekkah. Tapi hati saya lebih terpaut ke tanah Haram, bukan Turki. Dan doa-doa saya selalu soal nyampe ke Mekkah, bukan Istanbul.

“Wow, tawaran yang menarik. Tapi gue lagi kebelet pengen ketemu Masjidil Haram nih. Udah daftar haji, tapi kuota baru lima tahun lagi. Khawatir juga umur ga nyampe segitu”, saya mencoba bernegosiasi. Berharap dia mengerti dan rela mengganti akomodasi tawarannya ke Turkidengan biaya umroh. Hehe, otak bisnis ini selalu tidak mau rugi.

Tentu saja dia menolak. “Belum pernah umroh? Kalau begitu, sekaliansaja umroh pas Ramadhan aja. Pahalanya sama dengan pahala haji lho. Bareng gue aja ntar, gue bayarin juga, bonus atas bantuan loe. Tapi sekarang loe tetep ke Turki aja, lagi keren banget nih cuacanya”, jawabnya santai diakhiri dengan emoticon cueknya.

Tawaran yang menggiurkan. Tapi, Ramadhan kan jadwal saya ngumpul dengan anak-anak? Saya lirik foto dua buah hati saya di meja. Sudah sebulan lebih tak jumpa mereka. Sejak lulus SD mereka bersedia masuk
pesantren. Saya bukan menjadikan mereka ulama, lepas pesantren mereka bebas mengambil bidang selain agama dan syariah. Bayangan saya, kalau misalnya salah satu dari mereka jadi pengusaha, mereka akan jadi pengusaha plus. Pengusaha plus ustadz, bisa menjadi rujukan rekan sejawat lain dalam mengambil fatwa sekitar masalah bisnis. Hmm..

“Ting!” Seto yang sedang di Turki itu kembali mengirim pesan. Membuyarkan lamunan saya soal anak-anak di pesantren sana.

“Gue lagi butuh banyak doa nih, doa spesial di tempat mustajab. Di Turki ada tempat mustajab untuk berdoa ga?”, nego saya.

“Gimana? Ramadhan masih beberapa bulan lagi, kutransfer bulan depan aja lah ya”, begitu isi pesannya.

“Anak-anak gue itu libur panjangnya selama Ramadhan aja. Itu satu-satunya kesempatan menghabiskan waktu bersama mereka. Masa’ anak-anak liburan gue tinggal? Ga sanggup deh..”, balasku lagi.

BACA JUGA  Karena Ingin Menjadi Lebih Baik

“Ooww.. Oke. Baiklah. Kau siapin paspor dan yang lainnya deh besok. Browse langsung aja umroh yang bisa lekas berangkat, ga pake booking-bookingan jauh-jauh hari!”

“Maksudnya? Gue ga sanggup berRamadhan tanpa anak-anak Broooww!” saya pantang menyerah bernegosiasi.

“Loe memang jago diplomasi ya, pantang menyerah”.

“Hehe, ini namanya negosiasi..” balasku.

“Haha.. Oke deh! Ya udah, urus visa deh besok. Cari travel yang masih kosong”.

“Serius? Loe ga becanda kan?” Alhamdulillah! Hampir saya sujud syukur!

“Berisik ah loe Han. Udah jangan kebanyakan nanya, ntar gue berubah pikiran”….

Saya lirik lagi foto anak-anak. Nak, Bunda bentar lagi depan umroh! Berkah membantu saudara.

Dua minggu setelahnya, saya sudah di Masjidil Haram. Saya berpamitan pada Ibu dua hari sebelum berangkat. Dan pada teman kantor sehari sebelumnya. Tak ada acara walimatul shafar. Tak ada acara selamatan, seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya. Eh, ada sih selamatan kecil-kecilan. Saya traktir teman kantor di McD pagi sebelum berangkat ke bandara. Sekalian minta didoakan supaya perjalanan umroh saya lancar.

Dan bertemulah saya dengan Masjidil Haram, dengan Ka’bah, dengan Shafa dan Marwa, dengan kuburan para alumni perang Badar kubro. Bertemu pula saya dengan Raudhoh, dan di sanalah saya memanjatkan doa terpendam saya.

Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaika laa syarika labbaik. Luar biasa ternyata rasanya. Pantas banyak kenalan yang memaksakan diri umrohsetiap tahun. Pantas saja banyak orang yang sanggup naik haji berkali-kali. Sebab rasanya memang tak tergantikan dengan kata-kata, tak terbayar dengan pesiar ke tempat terindah lain sekalipun.

Puas saya berdoa di dua masjid mustajab di seluruh dunia. Doa apa? Rahasia dong, biar Allah dan saya saja yang tahu.Yuk, siapa yang mau menyusul umroh?
***

Sampai saat ini buku tabungan haji masih saya pandangi tiap malam. Sedihnya, waktu saya tengok lagi website depag, jadwal haji saya mundur lagi dua tahun.

Mungkin ini salah satu yang dinamakan panggilan. Kita sudah atur, tapi ada Yang Maha Mengatur. Semoga umur saya sampai untuk menyelesaikan rukun Islam terakhir itu. Amiin Ya Robbal’alamin.

*Seperti diceritakan oleh Mbak Hana -bukan nama sebenarnya- pada penulis

Penulis: Sari Kusuma

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles