Resensi Novel ‘Sunset Bersama Rosie’

Dina Fauziah | SuaraJakarta.co

Judul : Sunset Bersama Rosie
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Mahaka
Tebal : 427 Hal
Tahun Terbit : 2011

Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang. Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan? Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena hanya kita lakukan untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali. Sebenarnya, apakah itu arti ‘kesempatan’? Apakah itu makna ‘keputusan’? Bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah ‘keputusan’ atas sepucuk ‘kesempatan’? Sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?

Bagiku waktu selalu pagi. Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam degan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi.Malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan.

Novel Sunset bersama Rosie memberikan pelajaran yang begitu berharga, sekuat apapun kita berusaha melupakan masa lalu, masa lalu itu akan semakin lekat di benak kita. Kita hanya boleh “berdamai” dengan masa lalu bukan melupakan. Berdamai untuk memetik hikmah kejadian masa lalu sebagai pelajaran berharga di masa yang akan datang.

Kebahagiaan  dengan intensitas yang tinggi, tanpa henti bagai mata air di kaki pegunungan yang  memancar deras. Sebuah keluarga yang dikaruniai 4 gadis luar biasa bak kembang di taman. Anggrek, si sulung yang yang berusia 12 tahun. Parasnya mewarisi gurat ibunya, Rosie. Keibuan dan bisa diandalkan. Rambutnya lurus tergerai. Senang mengisi waktu dengan membaca buku. Selain hobi membaca, dia juga hobi menulis. Kritis terhadap kejadian disekitarnya.

BACA JUGA  Hadapi Hari AIDS, Harapan dari Pemuda Indonesia

Sakura, anak kedua Rosie dan Nathan, berumur 9 tahun. Pandai menguasai bahasa asing. Tak tanggung-tanggug, Sakura menguasai 4 bahasa sekaligus. Begitu talkactive. Meski belum begitu faseh, namun Sakura dapat diandalkan. Otak kanan dan otak kiri yang seimbang, yah sakura pandai bermain biola. Penggemar tokoh-tokoh kartun Jepang sampai pakaiannya pun ia tiru.

Jasmine, anak ketiga mereka, umurnya baru 5 tahun. Yang ini paling pendiam dibanding yang lain. Meski pendiam, ada saja tingkahnya yang membuat hati tersentuh, rasanya setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya begitu berharga. Jasmine piawai mengurus Lili adiknya yang baru genap satu tahun. Dan Jasmine yang memilih untuk terus merawat, menggendong dan menjaga lili.

Lili, si bungsu yang cantik usianya baru 1 tahun. Umur segini, seorang balita lagi lucu-lucunya. Belajar berjalan, meski tertatih.

Sungguh kebahagiaan mereka begitu utuh, sebelum kejadian yang hanya 10 detik itu meluluhlantahkan semuanya. Yah, hanya 10 detik sebelum akhirnya Bom Jimbaran itu meledak. Menyulap kebahagiaan menjadi penderitaan yang memilukan.

Tak mudah bangkit dari segala keterpurukan, kehilangan sosok yang dicintai begitu merubah segala aspek  kehidupan.

Disisi lain, seorang pemuda diujung sana, Tegar Karang menjadi satu-satunya saksi atas kejadian bersejarah itu, kejadian yang merenggut semua kebahagiaan itu. Menepis segala perasaan pribadi di masa lalu, berusaha merajut kembali kebahagiaan keluarga itu. Tegar Karang dulu pernah mencintai Rosie, yang juga sahabat kecilnya. Mendaki gunung bersama, melihat sunset bersama di puncak gunung Rinjani, dan menghabiskan masa indah kanak-kanak bersama. Perasaan yang dipendamnya hampir 20 tahun. Tak ada keberanian untuk megungkapkan perasaan itu. Hingga suatu hari Tegar di dahulukan  oleh orang lain. Yang tak lain sahabatnya sendiri, yang juga mencintai Sekar hanya dalam kurun waktu dua bulan. 20 puluh tahun melawan waktu yang hanya 2 bulan.

BACA JUGA  Pilkada dan Akhir Sebuah Dinasti

Cinta bukan berarti memiliki, disini kita akan mengerti makna cinta dengan pemahaman yang berbeda. Dibungkus dengan nilai ketulusan  yang tak mengenal apa itu imbalan. Mungkin aku terlalu mencintai mereka, dan tidak pernah mengharapkan apapun sebagai imblannya.

Disini kita belajar, betapa indahnya memaafkan kesalahan orang lain. Meski tidak mudah, meski begitu sulit, kebesaran dan kelapangan jiwa adalah salah satu jalan untuk kembali hidup dengan kemuliaan, dengan kebahagiaan.  Belajar dari kepolosan, dan tingkah laku anak-anak yang begitu menggemaskan.  Mewarnai setiap jengkal kehidupan. Sungguh, salah satu kebahagaiaan itu terletak pada wajah keceriaan anak-anak. Anak-anak yang tanpa berdosa harus merasakan semua penderitaan ini.

Tere liye begitu piawai dalam mengoyak emosi para pembaca setianya. Alur novel yang sulit ditebak, dan didukung dengan latar kejadian yang membuat mata berkaca-kaca saat membacanya. Ada haru, tawa,  bahagia dan sedih diracik menjadi bumbu yang begitu istimewa untuk dinikmati. Sekali lagi, mengajarkan kita bahwa cinta sejati akan menemukan jalannya. Jalan yang sudah terukir dalam suratan takdir-Nya. Sekuat apapun kita berusaha, meskipun telah menyisakan sebuah kesempatan emas, tak akan pernah bisa mengubah segalanya.

Selamat Membaca !

*Aktifis Badan Perwakilan Mahasiswa Sampoerna School of Education dan Aktifis Humas KAMMI MADANI

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles